Jumat, 31 Oktober 2008

INDAHNYA BARENG

Mempunyai tekad keras serta berusaha tanpa menutupi muka seringkali tak cukup. Kita memerlukan sebuah kekuatan batin, yaitu kemampuan untuk menerima segala sesuatu yang terjadi. Orang bilang, ini adalah sebuah keberserahan diri, sebuah tawakal, sebuah kepasrahan.
Suatu hari di tepian kota. Waktu menunjukkan hampir tengah malam. Sepasang suami istri setengah baya itu mengemasi dagangannya. Sang istri membereskan piring, gelas dan perabot lain. Sedangkan si suami memasukkannya dalam gerobak.Sesaat mereka menghitung berapa laba yang masuk. Siapa pun tahu, penghasilan tak selalu datang seperti yang diharapkan. Terkadang hujan turun, pada waktu lain petugas ketertiban menghalau, atau kadang semuanya begitu menggembirakan.Manis dan asam memang bumbu penyedap sehari-hari. Yang pasti, esok, kehidupan sekali lagi harus dijalani. Mempunyai tekad keras serta berusaha tanpa menutupi muka seringkali tak cukup. Kita memerlukan sebuah kekuatan batin, yaitu kemampuan untuk menerima segala sesuatu yang terjadi. Orang bilang, ini adalah sebuah keberserahan diri, sebuah tawakal, sebuah kepasrahan. Sepasang suami istri itu berjalan bergegas. Yang laki mendorong gerobak, yang perempuan terkantuk-kantuk duduk di atasnya. Keduanya berlalu menembus malam. Hidup memang bukan untuk dijalani sendiri. Tapi bersama-sama; teman, sahabat, keluarga atau tetangga. Hidup adalah untuk saling kuat-menguatkan, topang-menopang, serta kasih-mengasihi.
Dalam konteks itulah, Islam mengajarkan hidup yang sesungguhnya. Hidup yang tidak hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan dan mempertahankan eksistensi diri. Tapi lebih dari itu, Islam mengajarkan kita meraih kehidupan yang bermakna, bermanfaat, bertanggung jawab, dan berorientasi ke masa depan (perhatikan QS 28:77). Esensi kebersamaan dalam hidup adalah adanya tolong-menolong dalam perbuatan kebajikan dan taqwa (QS 5:2), saling menasehati dalam kebenaran, kesabaran dan kasih sayang (QS 90:17, 103:3), dan saling mengingatkan dalam keimanan (QS 16:125). Dalam konteks kehidupan berbangsa, pengalaman empiris bangsa ini telah membuktikan dengan kebersamaan pendahulu dan pendiri bangsa ini berhasil meraih dan mempertahankan kemerdekaan. Begitu pula dengan negara Jepang, misalnya, mereka bangkit dan kini menjadi salah satu negara maju dengan bermodalkan kebersamaan dan tekad yang kuat. Namun kondisi ironis terjadi saat ini.
Dikala bangsa ini belum bisa bangkit dari keterpurukan multidimensional, sebagian grassroot hingga elite sering terlibat â€کtawuran’. Kaum elite lebih mementingkan bagaimana mempertahankan dan melanggengkan kekuasaan daripada memikirkan kesejahteraan rakyat. Sementara penegakan hukum pun jauh dari rasa keadilan masyarakat. Bahkan satu penelitian menyebutkan bahwa lembaga peradilan bak seperti tempat lelang dimana orang yang memiliki penawaran tertinggilah yang akan menang.
Sudah saatnya kita sadar dan bangkit dari keterpurukan. Singsingkan lengan baju, tahan emosi, tatap masa depan, duduk bersama dan renungkan solusi untuk bangkit. Mari kita bersama-sama raih dan rasakan indahnya kebersamaan. Wallahu a’lam bi ash Shawab

AGAR TAK DIMADU SUAMI

Wanita mana yang mau dimadu? Demikian ungkapan yang sering kita dengar. Memang, pada umumnya, sebagian kita tidak ingin, tidak siap, dan tidak mau untuk berbagi suami. Tidak untuk dimadu maupun menjadi madu. Sebagian kita, atau kebanyakan kita, sangat takut jika suami yang sangat kita sayangi dan cintai menikah lagi. Ketakutan ini semakin bertambah ketika kita mendengar, membaca, apalagi menyaksikan sendiri kisah-kisah nestapa dari keluarga yang menjalankan “poligami tidak sehat”.
Motivasi menikah lagi
Banyak faktor yang mendorong seorang suami untuk menikah lagi. Diantara faktor tersebut adalah: istri sakit, hasrat seksual yang tinggi, istri mandul, atau karena alasan-alasan khusus misalnya banyaknya jumlah wanita, sedikitnya jumlah laki-laki, menolong wanita yang sudah tua, janda, banyak anak, ataupun alasan politik demi kemaslahatan umat.
Tidak menutup kemungkinan pula, seorang suami mempunyai keinginan untuk menikah lagi karena kepribadian sang istri yang kurang (baca: tidak) berkenan di hati sang suami. Motif yang terakhir ini tidak dapat disalahkan, seorang laki-laki mencari pendamping hidup untuk memperoleh rasa nyaman, bahagia, sakinah, mawadah, dah rahmah. Namun, yang didapatkan sang suami dalam kesehariannya bertolak belakang dari keinginannya. Ia senantiasa mendapatkan ucapan dan perbuatan yang selalu menjengkelkan dan menyakitkan hatinya. Jika ini terjadi berulang kali,dan karakter buruk istri sulit diperbaiki, tidak menutup kemungkinan, sang suami mulai berpikir menikahi wanita lain untuk mendapatkan apa yang diimpikan sebelumnya. Ia akan mencari wanita yang dianggapnya lebih baik, lebih shalih, lebih bisa membuat dia bahagia dan tenang seperti yang dia idam-idamkan.
Suami tidak setia?
Keputusan menikah lagi adalah keputusan yang besar sekali. Pilihan yang sangat berat. Pilihan ini tidak menunjukkan bahwa ia bukanlah tipe seorang suami yang setia. Justru karena kasih sayang dan cintanya yang begitu besar kepada istri dan anak-anaknya, ia lebih memilih untuk memadu istrinya ketimbang bercerai. Andaikata ia bukan tipe seorang suami yang setia, sayang dan cinta kepada istri dan anak-anak, tentunya ia tidak akan peduli dengan nasib mereka. Ia tidak akan memikirkan perasaan dan masa depan yang akan dialami oleh istri dan anak-anak nya pasca perceraian. Sebagaimana kita tahu, perceraian membawa konsekuensi yang sangat besar bagi kehidupan sang istri dan anak-anak nya.
Antisipasi agar tidak dimadu suami
Sebagian kita ada yang menolak dengan keras jika mengetahui kehendak suami untuk menikah lagi. Bahkan ada yang mengancam dan memberikan pilihan kepada suami: “pilih aku atau dia”. Tak jarang pula, ada yang minta diceraikan ketimbang harus berbagi suami.
Ada pula yang mengantisipasi dengan membatasi ruang gerak suami. Sang istri menerapkan pengawasan melekat terhadap suami, setiap saat dia menghubungi sang suami. Seorang istri bertindak seolah menjadi manajer suami, ia menentukan kegiatan mana aja yang bisa diikuti oleh suami, ia juga menentukan kapan suami bisa meninggalkan rumah, kapan suami harus pulang, Semua dengan keinginan sepihak dari istri dengan ketentuan yang ketat.
Bahkan, tidak menutup kemungkinan, sang istri mengantisipasinya dengan menggalang dukungan untuk menolak keinginan sang suami, atau bahkan melakukan terror kepada calon istri kedua.
Sebenarnya bukanlah hal yang salah jika seorang wanita berupaya dan melakukan antisipasi, agar sang suami tidak menikah lagi. Yang jadi masalah jika antisipasi yang dilakukan sang istri sampai melanggar batas aturan Allah Azza wa Jalla. Apalagi jika muncul rasa benci kepada syariat Allah dan pelakunya. Ia membenci bahkan menentang syariat yang diturunkan Allah subhanahu wa ta’ala dan telah dipraktikkan oleh rasul dan sebagian sahabat.
Raih simpati agar disayang suami
Sebagaimana yang disebutkan diatas, ada kalanya seorang suami ingin menikah lagi dikarenakan kepribadian dan karakter yang kurang berkenan dari sang istri. Oleh karena itu, tidak salah jika para wanita mengantisipasi kemungkinan yang tidak diinginkan ini. Salah satunya dengan berusaha maksimal untuk senantiasa meraih simpati agar senantiasa disayang suami .
Salah satu kiat nya dengan menjauhi kesalahan-kesalahan yang biasa dilakukan seorang istri.
Diantara kesalahan-kesalahan yang terkadang dilakukan seorang istri sebagai berikut:
1. Menuntut keluarga yang ideal dan sempurna
Sebelum menikah, seorang wanita membayangkan pernikahan yang begitu indah, kehidupan yang sangat romantis sebagaimana ia baca dalam novel maupun ia saksikan dalam sinetron-sinetron. Ia memiliki gambaran yang sangat ideal dari sebuah pernikahan. Kelelahan yang sangat, cape, masalah keuangan, dan segudang problematika di dalam sebuah keluarga luput dari gambaran nya. Ia hanya membayangkan yang indah-indah dan enak-enak dalam sebuah perkawinan. Akhirnya, ketika ia harus menghadapi semua itu, ia tidak siap. Ia kurang bisa menerima keadaan, hal ini terjadi berlarut-larut, ia selalu saja menuntut suaminya agar keluarga yang mereka bina sesuai dengan gambaran ideal yang senantiasa ia impikan sejak muda. Seorang wanita yang hendak menikah, alangkah baiknya jika ia melihat lembaga perkawinan dengan pemahaman yang utuh, tidak sepotong-potong, romantika keluarga beserta problematika yang ada di dalamnya.
2. Nusyus (tidak taat kepada suami)
Nusyus adalah sikap membangkang, tidak patuh dan tidak taat kepada suami. Wanita yang melakukan nusyus adalah wanita yang melawan suami, melanggar perintahnya, tidak taat kepadanya, dan tidak ridha pada kedudukan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah tetapkan untuknya.
Nusyus memiliki beberapa bentuk, diantaranya adalah:
1. Menolak ajakan suami ketika mengajaknya ke tempat tidur, dengan terang-terangan maupun secara samar.
2. Mengkhianati suami, misalnya dengan menjalin hubungan gelap dengan pria lain.
3. Memasukkan seseorang yang tidak disenangi suami ke dalam rumah
4. Lalai dalam melayani suami
5. Mubazir dan menghambur-hamburkan uang pada yang bukan tempatnya
6. Menyakiti suami dengan tutur kata yang buruk, mencela, dan mengejeknya
7. Keluar rumah tanpa izin suami
8. Menyebarkan dan mencela rahasia-rahasia suami.
Seorang istri shalihah akan senantiasa menempatkan ketaatan kepada suami di atas segala-galanya. Tentu saja bukan ketaatan dalam kedurhakaan kepada Allah, karena tidak ada ketaatan dalam maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ia akan taat kapan pun, dalam situasi apapun, senang maupun susah, lapang maupun sempit, suka ataupun duka. Ketaatan istri seperti ini sangat besar pengaruhnya dalam menumbuhkan cinta dan memelihara kesetiaan suami.
3. Tidak menyukai keluarga suami
Terkadang seorang istri menginginkan agar seluruh perhatian dan kasih sayang sang suami hanya tercurah pada dirinya. Tak boleh sedikit pun waktu dan perhatian diberikan kepada selainnya. Termasuk juga kepada orang tua suami. Padahal, di satu sisi, suami harus berbakti dan memuliakan orang tuanya, terlebih ibunya.
Salah satu bentuknya adalah cemburu terhadap ibu mertuanya. Ia menganggap ibu mertua sebagai pesaing utama dalam mendapatkan cinta, perhatian, dan kasih sayang suami. Terkadang, sebagian istri berani menghina dan melecehkan orang tua suami, bahkan ia tak jarang berusaha merayu suami untuk berbuat durhaka kepada orang tuanya. Terkadang istri sengaja mencari-cari kesalahan dan kelemahan orang tua dan keluarga suami, atau membesar-besarkan suatu masalah, bahkan tak segan untuk memfitnah keluarga suami.
Ada juga seorang istri yang menuntut suaminya agar lebih menyukai keluarga istri, ia berusaha menjauhkan suami dari keluarganya dengan berbagai cara.
Ikatan pernikahan bukan hanya menyatukan dua insan dalam sebuah lembaga pernikahan, namun juga ‘pernikahan antar keluarga’. Kedua orang tua suami adalah orang tua istri, keluarga suami adalah keluarga istri, demikian sebaliknya. Menjalin hubungan baik dengan keluarga suami merupakan salah satu keharmonisan keluarga. Suami akan merasa tenang dan bahagia jika istrinya mampu memposisikan dirinya dalam kelurga suami. Hal ini akan menambah cinta dan kasih sayang suami.
4. Tidak menjaga penampilan
Terkadang, seorang istri berhias, berdandan, dan mengenakan pakaian yang indah hanya ketika ia keluar rumah, ketika hendak bepergian, menghadiri undangan, ke kantor, mengunjungi saudara maupun teman-temannya, pergi ke tempat perbelanjaan, atau ketika ada acara lainnya di luar rumah. Keadaan ini sungguh berbalik ketika ia di depan suaminya. Ia tidak peduli dengan tubuhnya yang kotor, cukup hanya mengenakan pakaian seadanya: terkadang kotor, lusuh, dan berbau, rambutnya kusut masai, ia juga hanya mencukupkan dengan aroma dapur yang menyengat.
Jika keadaan ini terus menerus dipelihara oleh istri, jangan heran jika suami tidak betah di rumah, ia lebih suka menghabiskan waktunya di luar ketimbang di rumah. Semestinya, berhiasnya dia lebih ditujukan kepada suami Janganlah keindahan yang telah dianugerahkan oleh Allah diberikan kepada orang lain, padahal suami nya di rumah lebih berhak untuk itu.
5. Kurang berterima kasih
Tidak jarang, seorang suami tidak mampu memenuhi keinginan sang istri. Apa yang diberikan suami jauh dari apa yang ia harapkan. Ia tidak puas dengan apa yang diberikan suami, meskipun suaminya sudah berusaha secara maksimal untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan keinginan-keinginan istrinya.
Istri kurang bahkan tidak memiliki rasa terima kasih kepada suaminya. Ia tidak bersyukur atas karunia Allah yang diberikan kepadanya lewat suaminya. Ia senantiasa merasa sempit dan kekurangan. Sifat qona’ah dan ridho terhadap apa yang diberikan Allah kepadanya sangat jauh dari dirinya.
Seorang istri yang shalihah tentunya mampu memahami keterbatasan kemampuan suami. Ia tidak akan membebani suami dengan sesuatu yang tidak mampu dilakukan suami. Ia akan berterima kasih dan mensyukuri apa yang telah diberikan suami. Ia bersyukur atas nikmat yang dikaruniakan Allah kepadanya, dengan bersyukur, insya Allah, nikmat Allah akan bertambah.
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih.”
6. Mengingkari kebaikan suami
“Wanita merupakan mayoritas penduduk neraka.”
Demikian disampaikan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam setelah shalat gerhana ketika terjadi gerhana matahari.
Ajaib� !! wanita sangat dimuliakan di mata Islam, bahkan seorang ibu memperoleh hak untuk dihormati tiga kali lebih besar ketimbang ayah. Sosok yang dimuliakan, namun malah menjadi penghuni mayoritas neraka. Bagaimana ini terjadi?
“Karena kekufuran mereka,” jawab Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika para sabahat bertanya mengapa hal itu bisa terjadi.
Apakah mereka mengingkari Allah?
Bukan, mereka tidak mengingkari Allah, tapi mereka mengingkari suami dan kebaikan-kebaikan yang telah diperbuat suaminya. Andaikata seorang suami berbuat kebaikan sepanjang masa, kemudian seorang istri melihat sesuatu yang tidak disenanginya dari seorang suami, maka si istri akan mengatakan bahwa ia tidak melihat kebaikan sedikitpun dari suaminya. Demikian penjelasan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam hadits yang diriwayatkan Bukhari (5197).
Mengingkari suami dan kebaikan-kebaikan yang telah dilakukan suami!!
Inilah penyebab banyaknya kaum wanita berada di dalam neraka. Mari kita lihat diri setiap kita� kita saling introspeksi � apa dan bagaimana yang telah kita lakukan kepada suami-suami kita?
Jika kita terbebas dari yang demikian, alhamdulillah. Itulah yang kita harapkan. Berita gembira untukmu wahai saudariku.
Namun jika tidak, kita (sering) mengingkari suami, mengingkari kebaikan-kebaikannya� maka berhati-hatilah dengan apa yang telah disinyalir oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Bertobat� satu-satunya pilihan utuk terhindar dari pedihnya siksa neraka. Selama matahari belum terbit dari barat, atau nafas telah ada di kerongkongan� masih ada waktu untuk bertobat. Tapi mengapa mesti nanti? Mengapa mesti menunggu sakaratul maut?
Janganlah engkau katakan besok dan besok wahai saudariku; kejarlah ajalmu� bukankah engkau tidak tahu kapan engkau akan menemui Robb mu?
“Tidaklah seorang isteri yang menyakiti suaminya di dunia, melainkan isterinya (di akhirat kelak): bidadari yang menjadi pasangan suaminya (berkata): “Jangan engkau menyakitinya, kelak kamu dimurkai Allah, seorang suami begimu hanyalah seorang tamu yang bisa segera berpisah dengan kamu menuju kami.” (HR. At Tirmidzi, hasan)
Wahai saudariku, mari kita lihat� apa yang telah kita lakukan selama ini � jangan pernah bosan dan henti untuk introspeksi diri� jangan sampai apa yang kita lakukan tanpa kita sadari membawa kita kepada neraka, yang kedahsyatannya� tentu sudah Engkau ketahui.
Jika suatu saat, muncul sesuatu yang tidak kita sukai dari suami; janganlah kita mengingkari dan melupakan semua kebaikan yang telah suami kita lakukan.
“Maka lihatlah kedudukanmu di sisinya. Sesungguhnya suamimu adalah surga dan nerakamu.” (HR.Ahmad)
7. Mengungkit-ungkit kebaikan
Setiap orang tentunya memiliki kebaikan, tak terkecuali seorang istri. Yang jadi masalah adalah jika seorang istri menyebut kebaikan-kebaikannya di depan suami dalam rangka mengungkit-ungkit kebaikannya semata.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima).” [Al Baqarah: 264]
Abu Dzar radhiyallahu ‘Anhu meriwayatkan, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Ada tiga kelompok manusia dimana Allah tidak akan berbicara dan tak akan memandang mereka pada hari kiamat. Dia tidak mensucikan mereka dan untuk mereka adzab yang pedih.”
Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakannya sebanyak tiga kali.” Lalu Abu Dzar bertanya, “Siapakah mereka yang rugi itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang yang menjulurkan kain sarungnya ke bawah mata kaki (isbal), orang yang suka mengungkit-ungkit kebaikannya dan orang yang suka bersumpah palsu ketika menjual. ” [HR. Muslim]
8. Sibuk di luar rumah
Seorang istri terkadang memiliki banyak kesibukan di luar rumah. Kesibukan ini tidak ada salahnya, asalkan mendapat izin suami dan tidak sampai mengabaikan tugas dan tanggung jawabnya.
Jangan sampai aktivitas tersebut melalaikan tanggung jawab nya sebagai seorang istri. Jangan sampai amanah yang sudah dipikulnya terabaikan.
Ketika suami pulang dari mencari nafkah, ia mendapati rumah belum beres, cucian masih menumpuk, hidangan belum siap, anak-anak belum mandi, dan lain sebagainya. Jika ini terjadi terus menerus, bisa jadi suami tidak betah di rumah, ia lebih suka menghabiskan waktunya di luar atau di kantor.
9. Cemburu buta
Cemburu merupakan tabiat wanita, ia merupakan suatu ekspresi cinta. Dalam batas-batas tertentu, dapat dikatakan wajar bila seorang istri merasa cemburu dan memendam rasa curiga kepada suami yang jarang berada di rumah. Namun jika rasa cemburu ini berlebihan, melampaui batas, tidak mendasar, dan hanya berasal dari praduga; maka rasa cemburu ini dapat berubah menjadi cemburu yang tercela.
Cemburu yang disyariatkan adalah cemburunya istri terhadap suami karena kemaksiatan yang dilakukannya, misalnya: berzina, mengurangi hak-hak nya, menzhaliminya, atau lebih mendahulukan istri lain ketimbang dirinya. Jika terdapat tanda-tanda yang membenarkan hal ini, maka ini adalah cemburu yang terpuji. Jika hanya dugaan belaka tanpa fakta dan bukti, maka ini adalah cemburu yang tercela.
Jika kecurigaan istri berlebihan, tidak berdasar pada fakta dan bukti, cemburu buta, hal ini tentunya akan mengundang kekesalan dan kejengkelan suami. Ia tidak akan pernah merasa nyaman ketika ada di rumah. Bahkan, tidak menutup kemungkinan, kejengkelannya akan dilampiaskan dengan cara melakukan apa yang disangkakan istri kepada dirinya.
10. Kurang menjaga perasaan suami
Kepekaan suami maupun istri terhadap perasaan pasangannya sangat diperlukan untuk menghindari terjadinya konflik, kesalahpahaman, dan ketersinggungan. Seorang istri hendaknya senantiasa berhati-hati dalam setiap ucapan dan perbuatannya agar tidak menyakiti perasaan suami, ia mampu menjaga lisannya dari kebiasaan mencaci, berkata keras, dan mengkritik dengan cara memojokkan. Istri selalu berusaha untuk menampakkan wajah yang ramah, menyenangkan, tidak bermuka masam, dan menyejukkan ketika dipandang suaminya.
Demikian beberapa kesalahan-kesalahan istri yang sering dilakukan oleh suami yang seyogyanya kita hindari agar suami semakin sayang pada setiap istri. Sehingga kemungkinan istri dimadu suami karena alasan kepribadian dan tabiat istri yang kurang menyenangkan semakin kecil.
Semoga bermanfaat.

Ditulis oleh : Sutikno
Mulwo 11 � (180307)
Bacaan:
1.Agar Istri disayang Suami � Muhammad bin Ibrahim Al Hamd
2.Agar Suami disayang Istri � Muhammad bin Ibrahim Al Hamd
3.Agar Suami tak Berpoligami � Abu Azzam Abdillah
4.Istriku Menikahkanku � As-Sayid bin Abdul Aziz As Sa’dani
5.Karena Istri Ingin Dimengerti � Alifah Pujihastuti
6.Lelaki yang Menangis, kisah nyata lelaki korban kekerasan rumah tangga - Rini Nurul
7.Nikmatnya Sunnah Poligami � Ihsan bin Muhmmad bin Ayisy Al Utaibi
8.Poligami, Anugerah yang Terzhalimi � Abu Umar Basyir
9.Wanita antara Jodoh, Poligami & Perselingkuhan � Hartono Ahmad Jaiz

RAHASIA HAJI

Di musim haji, gema talbiah dari para tamu Allah di tanah wahyu Ilahi yaitu tanah suci Mekah terdengar dan menyentuh hati. Pada hari-hari ini lautan umat Islam meneriakkan ucapan Labbaik Allahumma Labbaik, sebuah ucapan yang dapat melupakan manusia dari hal-hal yang berbau duniawi. Dengan ucapan ini umat Islam dengan hati khusu' pergi menuju Baitullah, Ka'bah.
Haji adalah pemisahan dari diri untuk menyatu dengan Yang Esa dan mendaki puncak makrifat. Haji adalah pembebasan jiwa dari berbagai macam noda untuk kemudian menghiasinya dengan logika dan kelembutan-kelembutan ruhani. Oleh sebab itu, beruntung sekali orang-orang yang berhasil mendatangi wilayah malakut di Baitullah, Ka'bah. Karena itu pada hari-hari haji ini suasana kota Mekah , tanah kelahiran Rasul terakhir, sukar untuk dilukiskan.
Dengan mendengar munajat dan doa-doa para pecinta Allah, dan dengan telah dekatnya musim haji, maka harapan dan keinginan untuk dapat berziarah ke Rumah Allah, menjadi hidup di dalam hati setiap Muslim. Bisa dipastikan bahwa bagi setiap Muslim, perjalanan hati merupakan dambaan hati. Di hari-hari ini, dua kota suci Mekah dan Madinah menyaksikan pentas-pentas cinta yang paling indah dan ungkapan hati para peziarah yang berseru "labbaik" menjawab panggilan hak, dan dengan hati yang dipenuhi cinta Ilahi mereka berangkat menuju Rumah Allah.
Haji adalah sebuah perjalanan ruhani ke sebuah tempat suci dan terkenal dengan nama Mekah, yang dilakukan pada bulan Dzul Hijjah dengan tujuan ziarah ke Rumah Allah, Ka'bah, untuk melaksanakan upacara-upacara khusus, yang disebut "mansik Haji". Perjalanan agung dan mulia ini merupakan kewajiban atas setiap Muslim sekali dalam hidupnya, dengan syarat adanya biaya, kesehatan jasmani dan ruhani, serta tak adanya halangan apapun yang akan mengganggu perjalanan hajinya.
Bisa dikatakan, bahwa disetiap masyarakat manusia, terdapat saat dan tempat-tempat khusus untuk pelaksanaan acara-acara ibadah dan pengamalan ajaran-ajaran maknawi. Ka'bah adalah Rumah Tauhid dan tempat ibadah paling lama yang dibangun di muka bumi ini. Catatan-catatan sejarah memberikan kesaksian bahwa pada awalnya, Ka'bah dibangun oleh Nabi Adam Alaihissalam. Kemudian Ka'bah mengalami kerusakan dalam peristiwa taufan pada masa Nabi Nuh alaihissalam dan diperbaiki oleh Nabi Ibrahim Alihissalam. Sejak saat itu Ka'bah selalu menjadi pusat perhatian para penyembah Tuhan yang Maha Esa.
Ka'bah merupakan manifestasi keagungan dan rahmat Allah. Rumah suci ini adalah monumen sejarah hidup nabi-nabi besar seperti Adam Alaihissalam, Ibrahim Alaihissalam dan Rasul Allah Muhammad SAWW, serta perjuangan mereka dalam menyebarkan ajaran-ajaran tauhid kepada seluruh umat manusia. Setiap Mukmin, ketika berada di hadapan Ka'bah, maka ia akan tenggelam di dalam keagungan dan keindahan yang Maha Agung, dan seluruh wujudnya akan dikuasai oleh semangat dan perasaan-perasaan khusus.
Haji adalah sebuah jalan untuk bertaqarrub kepada Allah dan salah satu syiar terpenting di dalam Islam. Di dalam perjalanan ruhani ini, manusia meninggalkan segala kelezatan jasmani dan menjauhkan diri dari setiap kekotoran. Peziarah Rumah Allah, dengan berseru "Labbaik Allahumma Labbaik", mengungkapakan kerinduan dan kecintaan mereka dari dalam jiwa mereka; lalu mereka menenggelamkan diri ke dalam doa-doa dan munajat menyampaikan segala derita yang ia tanggung selama ini, seraya memohon rahmat dan inayah-Nya. Sesungguhnya, untuk menyatakan penghambaan diri kepada Dzat yang hak, tempat dan saat yang demikian inilah, saat di mana seseorang berada di dalam Rumah Allah dan Haram suci pusat keamanan Ilahi, adalah saat dan tempat yang paling tepat. Karena kapan dan dimana lagi saat dan tempat yang lebih mulia di banding saat dan tempat yang demikian ini?
Pada musim haji, tempat ini menyaksikan kehadiran umat Islam yang sangat besar, para peziarah yang melakukan segala bagian dari ibadah tersebut serba bersama-sama, kompak dan serempak; di dalam pakaian yang sama pula, baik bentuk dan warnanya. Di tempat yang suci dan di dalam suasana ruhani ini, satu hal yang teras lebih nyata daripada selainnya ialah saat-saat manis meraskan curahan rahmat Ilahi, dan kedekatan yang sangat dekat dengan Dzat yang maha Sempurna. Pada saat-saat semacam ini, segala macam titel dan gelar serta kelebihan-kelebihan lahiriyah, seakan musnah tak berbekas. Semua yang ada ialah keikhlasan dan penghambaan diri kepada Dzat yang Maha Agung lagi Maha Mulia.
Di dalam ibadah haji yang bersifat sangat konstruktif ini, segala macam egoisme dan kesombongan manusia, yang merupakan akar berbagai macam kesulitan dan musibah dalam masyarakat tersingkir jauh. Suasana jiwa manusia pun tersiapkan untuk menuju ke arah kesempurnaan. Hati dan jiwa manusia pelaksana ibadah haji, dengan terbukanya rantai-rantai keinginan hawa nafsu yang membelengu, akan memperoleh kekuatan tak terbatas untuk terbang semakin tinggi, menuju kepada kehidupan yang diinginkan, di dalam suatu ufuk yang luas serta di dalam udara yang lebih baik dan lebih mulia.
Ibadah haji adalah sebuah kesempatan, dimana seseorang dapat membebaskan diri dari dirinya sendiri, dan menyatu dengan Dzat yang Mutlak, tempat bergantung segala sesuatu yang maujud. Sesungguhnya haji adalah suatu ibadah yang mengandung segala unsur pernyataan diri sebagai hamba. Hal inilah yang memberikan keagungan kepada ibadah Ilahiyah ini.
Dalam liputan wartawan kami tentang suasana kota suci Mekah di hari-hari sekarang ini melaporkan: "Ketika kami memasuki kota suci Mekah, di benak kami terlintas gambaran tentang gurun sahara yang tandus dan panas dimana Nabi Ibrahim yang hanya disertai istri dan putranya berada di sisi Baitullah. Namun sekarang kota ini telah menjadi kota yang padat penduduk dan kami melihat betapa doa nabi Ibrahim AS telah dikabulkan Allah. Sebagaimana yang tertera dalam Al-Quran Surah Ibrahim ayat 37, saat itu nabi Ibrahim berdoa: "Ya Tuhan sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanaman-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, Ya Tuhan (yang sedemikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka (keturunan Nabi Ibrahim) dan berilah rizki mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur."
Sedemikian besar kerinduan kami kepada Baitullah sehingga seolah-oleh degup hati kami terdengar oleh telinga. Dari atas gunung kami menyaksikan Masjidil Haram dan lautan manusia berpakaian serba putih bersama-sama menuju Masjidil Haram. Dari sini kami juga menyaksikan burung-burung merpatai Masjidil Haram beterbangan di sekitarnya dan sama sekali tidak menunjukkan ras takut kepada arus manusia. Seolah-olah mereka juga tahu bahwa di sini adalah lembah yagn diamankan Allah serta temapt berlabuhnya keadilan dan takwa dimana tak seorangpun berhak mengganggu binatang atau tanaman apapun. Di sini tidak ada jenis kesombongan dan egoisme. Apa yang ada hanyalah kehormatan, ketenteraman, persaudaraan dan takwa.
Arus manusia yang datang silih berganti memasuki Masjidil Haram dari berbagai pintu yang terbuka untuk para tamu Allah dan selintas kemudian tatapan kami tertuju pada keindahan Ka'bah yang memancarkan keagungan dan keteguhan ke langit. Tak lama kemudian kami segera bersujud dan memanjatkan puji syukur atas keagungan dan kebesaranNya."
Ka'bah telah diceritakan sejarah semenjak zaman Nabi Adam AS. Saat nabi Adam turun ke bumi, Allah SWT telah meletakkan kubah di tempat dimana Ka'bah sekarang berada agar kubah ini dijadikan tempat bertawaf oleh Nabi Adam. Kubah itu terus ada hingga zaman Nabi Nuh AS dan setelah itu tempat tersebut dijadikan tempat tawaf para Nabi. Ketika sampai pada zaman Nabi Ibrahim AS, Allah SWT memerintahkan Nabi Ibrahim agar membangun Ka'bah di tempat itu dan sejak itu hingga sekitar 4 ribu tahun tak ada satupun peristiwa yang dapat mengurangi keagungan dan kesucian Baitullah ini. Pada Ka'bah terdapat pemandangan yang dapat membangkitkan jiwa pengabdian dan kecintaan kepada yang Esa.
Baitullah Ka'bah adalah pusat segala wujud semesta dan manusia sebagai wujud-wujud yang lain berasal dari Allah SWT dan tak ada orientasi kecuali Allah SWT. Para tamu Allah dengan semangat cinta yang luar biasa di sekitar Baitullah telah mejadi ibarat laron-laron (kalkatu) yang mengelilingi lilin. Dan dengan gelora jiwa yang tak dapat dilukiskan mereka menyampaikan munajatnya kepada Allah SWT.
Dalam hal ini kami menyatakan sebagai berikut:
"Hari ini dimana kami menyaksikan Ka'bah dari tempat yang tertinggi di Masjidil Haram kami mengetahui rahasia diamnya lembaga-lembaga informasi dan mass media untuk tidak merefleksikan ibadah besar haji umat Islam. Di sini, bukanlah tempat atau bangunan yang menjadi tempat mencurahkan cinta. Lautan manusia ini bukanlah karena tradisi atau kebiasaan memutari fokus tauhid melainkan karena dorongan logika akal dan kehendak untuk bertawaf kepada Tuhan Sang Pencipta alam. Seorang pelaksana ibadah haji harus tahu untuk apa mereka mengelilingi Ka'bah. Dengan kehendaknya, ia harus berdiri di atas kaki sendiri agar ia berada dalam orientasi tauhid dan jika ada desakan orang yang mendorong punggungnya saat tawaf, maka tawafnya akan batal."
"Dewasa ini dimana berbagai negara berusaha membangun istana-istana dan bangunan-bangunan termegah serta dengan kekerasan dan penipuan berusaha memperoleh popularitas dan untuk masalah terkecil pun mereka menggelar konferensi dan seminar, akan tetapi mereka sama sekali tidak melontarkan sedikitpun kata-kata untuk mengungkapkan kesan-kesan ibadah besar haji yang mengandung nuansa pengabdian, politik dan sosial umat Islam ini. Sebab mereka tahu betul betapa dalamnya pengaruh ibadah ini dalam menentukan garis nasib manusia.
"Rahasia Ka'bah tidak bisa dilukiskan dengan lidah melainkan dengan hati. Pada saat dimana lautan manusia, baik yang berkulit hitam maupun putih dan memiliki aneka ragam bahasa mendirikan solat di depan Baitullah dan engkau pun dapat menyaksikannya dengan mata kepala sendiri, engkau hanya bisa khusu' dan merendah diri di depan Sang Pemilik rumah ini, kemudian engaku ambil cahaya yang tertinggi dan bertasbihlah."
"Keagungan dan kemuliaan Ka'bah ada pada keagungan dan kebesaran Sang Pencipta dan yang mengatur segala wujud semesta, sebagaimana yang ditegaskan oleh Al-Quranul Karim di bagian terakhir surah Al-Hasyr yang artinya: "Dialah Allah yang menciptakan, yang mengadakan, Yang membentuk rupa, Yang mempunyai nama-nama yang paling baik. Bertasbih kepadaNya apa yang ada di langit dan di bumi. Dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."
Imam Khomeini (r.a) berkenaan ibadah haji berkata: "Berkumpulnya manusia mengelilingi Ka'bah menunjukkan bahwa selain Allah janganlah kalian berkumpul mengelilinginya. Tawaf memutari Ka'bah yang menunjukkan cinta kepada Yang Hak, mengajarkan kepada kita untuk membersihkan hati kita dari selain-Nya, dan tidak takut kepada apapun selain-Nya. Sa'i antara Safa dan Marwa mengajarkan agar kita berusaha menuju ke arah kekasih yang kita cintai, yaitu Allah SWT, dengan ketulusan dan kebersihan hati. Karena dengan menuju dan memperoleh kedekatan kepada-Nya, maka segala macam persoalan duniawi akan hilang sirna. Segala keraguan dan kebimbangan pun akan musnah. Demikian pula segala bentuk ketergantungan kepada hal-hal yang bersifat materi.
Sekali lagi kota Nabi, Madinah al-Munawwarah dipadati oleh umat Islam yang merindukan ziarah ke puasara Rasul. Kota Madinah adalah kota yang menghidupkan kenangan tentang perjuangan, jihad dan pengorbanan umat Islam di sisi Rasul untuk menegakkan Kalimatullah dan keadilan. Kota inilah yang menyimpan kenagan dari perjuangan Rasul dan para sahabatnya seperti Imam Ali bin Abi Talib dan Sayyidina Hamzah. Menyusuri kota madinah, seolah-olah semua penjuru menyampaikan kata-kata dan mengisahkan kepada kita tentang jerih-payah, cobaan dan pengorbanan Rasul serta para pengikutnya untuk mengangkat manusia dari jurang kebodohan dan kesesatan.
Lautan peziarah Baitullah singgah ke kota Madinah untuk mendatangi sebuah tempat dimana tubuh manusia yang paling sempurna dan suci berbaring. Masjidunnabi, dimana pusara Rasul berada, menyaksikan lautan umat yang berada di wilayah suci dan mengenang perjuangan dan ibadah Rasul yang sedemikian ikhlas. Kota madinah sekarang ini tampak ceria menyambut tamu-tamu yang mendambakan kedekatan di sisi Allah. Umat Islam yang berdatangan dari seluruh penjuru dunia untuk menunaikan ibadah haji di tanah Hijaz senantiasa singgah ke Madinah, baik itu sebelum menunaikan manasik haji atau setelahnya. Sebab tidaklah mungkin seseorang disebut peziarah Baitullah namun tidak berziarah ke utusan Allah yang terakhir, yaitu Nabi Besar Muhammad SAWW.
Setelah munculnya Islam, saat Rasul mendapat penentangan keras orang-orang kafir di Mekah, beliau mengambil keputusan untuk hijrah ke Madinah untuk menunaikan risalahnya. Hijrah Rasul ke Madinah merupakan sebuah peristiwa penting dalam sejarah Islam. Setelah menetap di Madinah, di bangun sebuah masjid pertama untuk memantapkan posisi dan keberadaan umat Islam. Masjid ini diberi nama Masjid Nabawi. Masjid ini menjadi basis perkembangan Islam serta tempat untuk menyelesaikan urusan agama dan sosial umat Islam.
Para peziarah Baitullah saat singgah di Madinah dan berada disekitar pusara Rasul merasakan seolah-olah Rasul membacakan ayat-ayat Al-Quran yang menyinggung rahmat dan ampunan (maghfirah) Ilahi dan seolah-olah Rasul sedang menyeru mereka agar bertakwa dan menempuh jalan yang lurus. Dan termasuk saat-saat Rasul yang paling indah ialah ketika beliau menebarkan senyum keridhaan dan mengusap-usapkan telapak tangannya di kepala anak-anak yatim. Kota Madinah juga menyimpan kisah-kisah tentang keteguhan dan keberanian Rasul di depan orang-orang kafir dan zalim. Pada saat beliau melihat adanya bahaya atau ancaman musuh, beliau mengeluarkan perintah untuk melakukan perlawanan. Dan dengan terjun langsung ke medan laga, beliau telah menjadi tempat berlindung para mujahidin dalam keadaan yang paling sulit.
Para peziarah Baitullah, dengan mengingat kancah-kancah ini dan dalam keadaan dirinya dipenuhi dengan rasa cinta kepada kebenaran dan keadilan, berjanji kepada Allah untuk menerapkan ajaran Islam dan mengikuti jejak Rasul dan Ahlul Baitnya. Daya tarik perilaku Rasul yang merupakan rahmat bagi penghuni alam semesta sedemikian kuatnya sehingga seseorang, tanpa disadari bisa meminta kepada Allah agar perilakunya diserupakan dengan perilaku Rasul.
Para peziarah makam suci Rasul, ketika berziarah berjanji untuk tidak melakukan perbuatan yang dilarang oleh syariat dan berusaha berbuat baik. Mereka juga berjanji akan berusaha membantu orang yang memerlukan pertolongan dan sebaliknya akan melawan orang-orang zalim dan penindas. Jika ada hak-hak orang yang diinjak-injak, mereka akan berusaha memperjuangkannya. Dengan semangat jiwa seperti ini dan pada saat dadanya terbuka lebar untuk menerima segala kesempurnaan akhlak dan kesucian, mereka datang menuju Baitullah untuk menunaikan manasik-mansik haji dan memperlihatkan kepada Allah manifestasi pengabdian dan ibadahnya dengan bentuk yang terindah.
Para peziarah Baitullah di kota Madinah juga tak akan lupa berziarah ke pemakaman Baqi' dimana beberapa orang dari Ahlul Bait dan sahabat besar Rasul dibaringkan. Diantara acara ibadah yang paling mengharukan setiap tahun di kota Madinah ialah pembacaan sebuah doa panjang yang kerap dibaca oleh Imam Ali, yaitu Doa Kumail. Sebuah doa yang memuat rintihan, pengaduan, pernyataan berdosa, pujian kepada Allah dan permohonan ampun kepada Allah. Acara ini biasa dilakukan jemaah haji dan peziarah dari Iran yang kemudian dihadiri pula oleh para peziarah dari negara-negara lain.
Mengenai acara-acara ritual pada musim haji tahun ini, wartawan kami antara lain melaporkan sebagai berikut:
"Pada tahun ini, kota Madinah juga menyaksikan penyelenggaraan acara pembacaan Doa Kumail dalam suasana spiritual dan ruhani yang penuh. Setelah menunaikan solat jamaah dalam saf-saf kebersamaan, para pecinta Rasul dan Ahlul Baitnya telah memarakkan kota Madinah dengan alunan doa dan pujian. Sedemikian maraknya suasana keruhanian di kota Madinah sehingga seolah-olh terdengar suara sayap-sayap para Malaikat yang datang dan pergi menghadap Rasul. Dan yang paling menarik dalam acara-acara ini ialah pembacaan doa dan munajat umat Islam demi pembebasan Al-Quds dan umat Islam Palestina yang teraniaya. Kepekaan umat Islam di saat haji terhadap masalah Palestina dan nasib seluruh umat Islam di Afghanistan, Tajikistan, Bosnia dan berbagai penjuru dunia lainnya merupakan manifestasi dari nuansa politik haji serta menunjukkan adanya rasa tanggungjawab umat Islam terhadap nasib saudara-saudara mereka."
"Suasana ikhlas, tulus dan ketertiban para pembaca doa dari Iran ini telah menarik perhatian para peziarah dari negara lain. Nonya Zainah dari Belgia saat menyaksikan acara pembacaan doa Kumail yang sangat mengharukan ini mengungkapkan: "Sungguh, di sini seseorang akan merasakan kebenaran umat Islam. Acara-acara ini benar-benar menghidupkan semangat pengabdian pada jiwa manusia yang mana inilah tujuan dari haji."

WUDLU ITU SEHAT

Oleh :Akhmad Asikin,S.Ag

Secara kesehatan wudlu sangat bermanfaat. Kalau diperhatikan, anggota badan yang dibasuh ketika berwudlu adalah anggota-anggota badan yang sering terbuka. Anggota badan kita yang terbuka sangat rentan didatangi kuman, selain memang kulit kita dihuni oleh kuman-kuman yang normal keberadaannya, kuman-kuman yang bersifat simbiotik mutualisme (keberadaannya membantu kulit misalnya dalam sistem pertahannan tubuh) juga kuman-kuman simbiotik komensalisme (keberadaanya tidak menimbulkan kerugian/penyakit) juga yang patogen potensial (opportunistic) (kuman yang akan menimbulkan penyakit), kuman-kuman ini yang dikenal dengan flora normal kulit. "Wahai orang-orang yang beriman apabila engkau hendak mendirikan sholat, maka basuhlah muka-muka kalian, tangan-tangan kalian hingga siku, dan usaplah kepala kalian dan basuhlah kaki-kaki kalian hingga kedua tumit" (al-Maidah : 6). Salah satu kewajiban kita adalah berwudlu yang merupakan syarat untuk mendirikan shalat. Secara syar'i, wudlu ditujukan untuk menghilangkan hadast kecil agar kita sah menjalankan ibadah, khususnya sholat. Minimal lima kali dalam sehari kita melakukan wudlu, yaitu untuk menjalankan sholat lima waktu. Meski demikian, kita dianjurkan untuk berwudlu tidak hanya ketika hendak mendirikan sholat, namun juga ketika hendak melakukan ibadah atau amalan yang baik, misalnya ketika kita hendak membaca al-Qur'an, ketika kita hendak mengikuti pelajaran, pengajian atau ketika kita hendak memasuki masjid dan mushola. Bahkan ketika kita hendak makan pun dianjurkan untuk mengambil air wudlu, dalam sebuah hadist Rasulullah s.a.w. bersabda :"keberkahan makanan adalah dengan wudlu sebelum dan sesudahnya" (Abu Dawud). Secara kesehatan wudlu sangat bermanfaat. Kalau diperhatikan, anggota badan yang dibasuh ketika berwudlu adalah anggota-anggota badan yang sering terbuka. Anggota badan kita yang terbuka sangat rentan didatangi kuman, selain memang kulit kita dihuni oleh kuman-kuman yang normal keberadaannya, kuman-kuman yang bersifat simbiotik mutualisme (keberadaannya membantu kulit misalnya dalam sistem pertahannan tubuh) juga kuman-kuman simbiotik komensalisme (keberadaanya tidak menimbulkan kerugian/penyakit) juga yang patogen potensial (opportunistic) (kuman yang akan menimbulkan penyakit), kuman-kuman ini yang dikenal dengan flora normal kulit. Menurut ilmu bacteria (mikrobakteriology), 1 cm meter persegi dari kulit kita yang terbuka bisa dihinggapi lebih 5 juta bakteri yang bermacam-macam. Bakteri ini perkembangannya sangat cepat dan salah satu faktor yang paling mempengaruhi perkembangannya adalah keseimbangan asam-basa (pH). PH permukaan kulit sangat berperan dalam memproteksi tubuh dan membatasi perkembangan kuman yang akan menimbulkan penyakit. Ketika membasuh kulit dengan air, maka keseimbangan pH dan kelembaban itu akan terkoreksi kembali dan diharapkan kembali normal. Kulit kita terdiri atas beberapa lapisan, salah satunya adalah epidermis pada lapisan terluar (yang mengadakan kontak langsung dengan lingkungan luar). Pada lapisan ini terdapat lapisan sel tanduk (stratum corneum) yang selalu mengalami deskuamasi (penggantian dan pembuangan sel-sel kulit mati pada stratum korneum) dan kadang sel-sel kulit yang mati dan mengelupas itu akan menyumbat pori-pori yang juga bermuara pada lapisan epidermis, hal inilah yg dapat menimbulkan penyakit pada kulit. Ketika berwudlu, maka air akan membantu membuang kotoran-kotoran, sisa-sisa sel kulit mati tadi dan meminimalisir jumlah kuman pada permukaan kulit kita. Menurut para ahli pada lembaga riset trombosis di London (Inggris), jika seseorang selalu mandi atau membasuh anggota tubuhnya, maka akan memperbaiki dan melancarkan sistem peredaran darah, air yang mengandung elektrolit-elektrolit akan membuat pembuluh-pembuluh darah mengalami vasodilatasi (pelebaran) sehinggga memperlancar peredarannya. Juga yang lebih penting adalah efek air pada tubuh kita, yaitu meningkatkan produksi sel-sel darah putih (leukosit) yang sangat berperan penting dalam system pertahanan tubuh (immunitas). Bahkan dari bunyi gemericik air dan kesejukannya, saraf-saraf tubuh yang mengalami ketegangan akibat aktifitas sebelumnya akan mengalami relaksasi juga mengembalikan kemampuan kerja otot-otot tubuh kita. Ketika berwudlu, kita juga dianjurkan berkumur, bersiwak (gosok gigi), membersihkan hidung, dan membersihkan sela-sela jari tangan dan kaki. Rasulullah s.a.w. pernah mengingatkan kepada umatnya :"Alangkah baiknya orang-orang yang mau menyela-nyela? Mereka bertanya: Siapa mereka wahai Rasulullah? Beliau menjawab : Mereka adalah yang mau menyela-nyela dalam wudlu dan dari makanan, dalam wudlu adalah dengan berkumur, menghisap air hidung dan menyela-nyela jari-jemari mereka pada saat berwudlu, sedangkan menyela-nyela gigi adalah membersihkannya dari bekas makanan. Sesungguhnya yang paling menjengkelkan kedua malaikat (pencatat) adalah ketika mereka melihat bekas makanan di sela-sela gigi mereka sedangkan mereka mendirikan sholat" (H.R. Ahmad dari Abu Ayub). Kalau kita tahu, mulut dan hidung kita ini merupakan sarang bakteri berbahaya. Bila kita tidak rajin membersihkannya bisa menimbulkan berbagai macam penyakit. Bakteri-bakteri tersebut semakin subur oleh bekas-bekas makanan yang ada di sela-sela gigi yang tidak kita bersihkan. Penelitian pernah membuktikan bahwa 90% dari mereka yang menderita kerusakan gigi, adalah karena keteledoran dalam melakukan kebersihan mulut. Penyakit yang ditimbulkan oleh bakteri yang ada di mulut kita tidak hanya mengancam gigi dan gusi, tetapi juga mengancam sistem pencernaan kita, ini karena air liur yang kita telan berasal dari mulut. Ada beberapa penyakit yang dapat disebabkan kurang diperhatikannya kesehatan gigi dan mulut dan efeknya adalah timbul penyakit pada organ lain, misalnya sinusitis causa kerusakan gigi (geraham atas). Akhirnya, marilah kita senantiasa menjaga kebersihan dan kesehatan badan kita dengan rajin berwudlu dengan air yang suci dan bersih, dan dengan tata cara yang benar. Berwudlu tidak hanya beribadah, namun juga menjaga kesehatan kita. Rasulullah s.a.w. bersabda :"Muka dan tangan kalian nanti di hari kiamat berkilauan bekas dari berwudlu" (H.R. Muslim)

TENTANG IBADAH

A. Definisi Ibadah
Ibadah secara bahasa (etimologi) berarti merendahkan diri serta tunduk. Sedangkan menurut syara’ (terminologi), ibadah mempunyai banyak definisi, tetapi makna dan maksudnya satu. Definisi itu antara lain adalah:
[1]. Ibadah adalah taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya melalui lisan para Rasul-Nya.
[2]. Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah Azza wa Jalla, yaitu tingkatan tunduk yang paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling tinggi.
[3]. Ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah Azza wa Jalla, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang bathin. Yang ketiga ini adalah definisi yang paling lengkap.
Ibadah terbagi menjadi ibadah hati, lisan, dan anggota badan. Rasa khauf (takut), raja’ (mengharap), mahabbah (cinta), tawakkal (ketergantungan), raghbah (senang), dan rahbah (takut) adalah ibadah qalbiyah (yang berkaitan dengan hati). Sedangkan tasbih, tahlil, takbir, tahmid dan syukur dengan lisan dan hati adalah ibadah lisaniyah qalbiyah (lisan dan hati). Sedangkan shalat, zakat, haji, dan jihad adalah ibadah badaniyah qalbiyah (fisik dan hati). Serta masih banyak lagi macam-macam ibadah yang berkaitan dengan amalan hati, lisan dan badan.
Ibadah inilah yang menjadi tujuan penciptaan manusia. Allah berfirman:
“Artinya : Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghen-daki rizki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi makan kepada-Ku. Sesungguhnya Allah Dia-lah Maha Pemberi rizki Yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.” [Adz-Dzaariyaat : 56-58]
Allah Azza wa Jalla memberitahukan bahwa hikmah penciptaan jin dan manusia adalah agar mereka melaksanakan ibadah hanya kepada Allah Azza wa Jalla. Dan Allah Mahakaya, tidak membutuhkan ibadah mereka, akan tetapi merekalah yang membutuhkan-Nya, karena ketergantungan mereka kepada Allah, maka barangsiapa yang menolak beribadah kepada Allah, ia adalah sombong. Siapa yang beribadah kepada-Nya tetapi dengan selain apa yang disyari’atkan-Nya, maka ia adalah mubtadi’ (pelaku bid’ah). Dan barangsiapa yang beribadah kepada-Nya hanya dengan apa yang disyari’atkan-Nya, maka ia adalah mukmin muwahhid (yang mengesakan Allah).
B. Pilar-Pilar Ubudiyyah Yang Benar
Sesungguhnya ibadah itu berlandaskan pada tiga pilar pokok, yaitu: hubb (cinta), khauf (takut), raja’ (harapan).
Rasa cinta harus disertai dengan rasa rendah diri, sedang-kan khauf harus dibarengi dengan raja’. Dalam setiap ibadah harus terkumpul unsur-unsur ini. Allah berfirman tentang sifat hamba-hamba-Nya yang mukmin:
“Artinya : Dia mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya.” [Al-Maa-idah: 54]
“Artinya : Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cinta-nya kepada Allah.” [Al-Baqarah: 165]
“Artinya : Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) kebaikan dan mereka berdo’a kepada Kami dengan penuh harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami.” [Al-Anbiya': 90]
Sebagian Salaf berkata [2], “Siapa yang beribadah kepada Allah dengan rasa cinta saja, maka ia adalah zindiq [3], siapa yang beribadah kepada-Nya dengan raja’ saja, maka ia adalah murji’[4]. Dan siapa yang beribadah kepada-Nya hanya dengan khauf, maka ia adalah haruriy [5]. Barangsiapa yang beribadah kepada-Nya dengan hubb, khauf, dan raja’, maka ia adalah mukmin muwahhid.”
C. Syarat Diterimanya Ibadah
Ibadah adalah perkara tauqifiyah yaitu tidak ada suatu bentuk ibadah yang disyari’atkan kecuali berdasarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah. Apa yang tidak disyari’atkan berarti bid’ah mardudah (bid’ah yang ditolak) sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Barangsiapa yang beramal tanpa adanya tuntunan dari kami, maka amalan tersebut tertolak.” [6]
Agar dapat diterima, ibadah disyaratkan harus benar. Dan ibadah itu tidak bisa dikatakan benar kecuali dengan adanya dua syarat:
[a]. Ikhlas karena Allah semata, bebas dari syirik besar dan kecil.
[b]. Ittiba’, sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Syarat yang pertama merupakan konsekuensi dari syahadat laa ilaaha illallaah, karena ia mengharuskan ikhlas beribadah hanya kepada Allah dan jauh dari syirik kepada-Nya. Sedangkan syarat kedua adalah konsekuensi dari syahadat Muhammad Rasulullah, karena ia menuntut wajib-nya taat kepada Rasul, mengikuti syari’atnya dan meninggal-kan bid’ah atau ibadah-ibadah yang diada-adakan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : (Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, dan ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala di sisi Rabb-nya dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” [Al-Baqarah: 112]
Aslama wajhahu (menyerahkan diri) artinya memurnikan ibadah kepada Allah. Wahua muhsin (berbuat kebajikan) artinya mengikuti Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Syaikhul Islam mengatakan, “Inti agama ada dua pilar yaitu kita tidak beribadah kecuali hanya kepada Allah, dan kita tidak beribadah kecuali dengan apa yang Dia syari’at-kan, tidak dengan bid’ah.”
Sebagaimana Allah berfirman.
“Artinya : Maka barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya maka hendaknya ia mengerjakan amal shalih dan janganlah ia mempersekutukan sesuatu pun dalam ber-ibadah kepada Rabb-nya.” [Al-Kahfi: 110]
Hal yang demikian itu merupakan manifestasi (perwujudan) dari dua kalimat syahadat Laa ilaaha illallaah, Muhammad Rasulullah.
Pada yang pertama, kita tidak beribadah kecuali kepada-Nya. Pada yang kedua, bahwasanya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan-Nya yang menyampaikan ajaran-Nya. Maka kita wajib membenarkan dan mempercayai beritanya serta mentaati perintahnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan bagai-mana cara kita beribadah kepada Allah, dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita dari hal-hal baru atau bid’ah. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa semua bid’ah itu sesat. [7]
Bila ada orang yang bertanya: “Apa hikmah di balik kedua syarat bagi sahnya ibadah tersebut?”
Jawabnya adalah sebagai berikut:
[1]. Sesungguhnya Allah memerintahkan untuk mengikhlaskan ibadah kepada-Nya semata. Maka, beribadah kepada selain Allah di samping beribadah kepada-Nya adalah kesyirikan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Maka sembahlah Allah dengan tulus ikhlas beragama kepada-Nya.” [Az-Zumar: 2]
[2]. Sesungguhnya Allah mempunyai hak dan wewenang Tasyri’ (memerintah dan melarang). Hak Tasyri’ adalah hak Allah semata. Maka, barangsiapa beribadah kepada-Nya bukan dengan cara yang diperintahkan-Nya, maka ia telah melibatkan dirinya di dalam Tasyri’.
[3]. Sesungguhnya Allah telah menyempurnakan agama bagi kita[8] Maka, orang yang membuat tata cara ibadah sendiri dari dirinya, berarti ia telah menambah ajaran agama dan menuduh bahwa agama ini tidak sempurna (mempunyai kekurangan).
[4]. Dan sekiranya boleh bagi setiap orang untuk beribadah dengan tata cara dan kehendaknya sendiri, maka setiap orang menjadi memiliki caranya tersendiri dalam ibadah. Jika demikian halnya, maka yang terjadi di dalam ke-hidupan manusia adalah kekacauan yang tiada taranya karena perpecahan dan pertikaian akan meliputi ke-hidupan mereka disebabkan perbedaan kehendak dan perasaan, padahal agama Islam mengajarkan kebersamaan dan kesatuan menurut syari’at yang diajarkan Allah dan Rasul-Nya.
D. Keutamaan Ibadah
Ibadah di dalam syari’at Islam merupakan tujuan akhir yang dicintai dan diridhai-Nya. Karenanyalah Allah men-ciptakan manusia, mengutus para Rasul dan menurunkan Kitab-Kitab suci-Nya. Orang yang melaksanakannya di-puji dan yang enggan melaksanakannya dicela.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Dan Rabb-mu berfirman, ‘Berdo’alah kepada-Ku, nis-caya akan Aku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang sombong tidak mau beribadah kepada-Ku akan masuk Neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.’” [Al-Mu'min: 60]
Ibadah di dalam Islam tidak disyari’atkan untuk mem-persempit atau mempersulit manusia, dan tidak pula untuk menjatuhkan mereka di dalam kesulitan. Akan tetapi ibadah itu disyari’atkan untuk berbagai hikmah yang agung, kemashlahatan besar yang tidak dapat dihitung jumlahnya. Pelaksanaan ibadah dalam Islam semua adalah mudah.
Di antara keutamaan ibadah bahwasanya ibadah mensucikan jiwa dan membersihkannya, dan mengangkatnya ke derajat tertinggi menuju kesempurnaan manusiawi.
Termasuk keutamaan ibadah juga bahwasanya manusia sangat membutuhkan ibadah melebihi segala-galanya, bahkan sangat darurat membutuhkannya. Karena manusia secara tabi’at adalah lemah, fakir (butuh) kepada Allah. Sebagaimana halnya jasad membutuhkan makanan dan minuman, demi-kian pula hati dan ruh memerlukan ibadah dan menghadap kepada Allah. Bahkan kebutuhan ruh manusia kepada ibadah itu lebih besar daripada kebutuhan jasadnya kepada makanan dan minuman, karena sesungguhnya esensi dan subtansi hamba itu adalah hati dan ruhnya, keduanya tidak akan baik kecuali dengan menghadap (bertawajjuh) kepada Allah dengan beribadah. Maka jiwa tidak akan pernah merasakan kedamaian dan ketenteraman kecuali dengan dzikir dan beribadah kepada Allah. Sekalipun seseorang merasakan kelezatan atau kebahagiaan selain dari Allah, maka kelezatan dan kebahagiaan tersebut adalah semu, tidak akan lama, bahkan apa yang ia rasakan itu sama sekali tidak ada kelezatan dan kebahagiaannya.
Adapun bahagia karena Allah dan perasaan takut kepada-Nya, maka itulah kebahagiaan yang tidak akan terhenti dan tidak hilang, dan itulah kesempurnaan dan keindahan serta kebahagiaan yang hakiki. Maka, barangsiapa yang meng-hendaki kebahagiaan abadi hendaklah ia menekuni ibadah kepada Allah semata. Maka dari itu, hanya orang-orang ahli ibadah sejatilah yang merupakan manusia paling bahagia dan paling lapang dadanya.
Tidak ada yang dapat menenteramkan dan mendamaikan serta menjadikan seseorang merasakan kenikmatan hakiki yang ia lakukan kecuali ibadah kepada Allah semata. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tidak ada kebahagiaan, kelezatan, kenikmatan dan kebaikan hati melainkan bila ia meyakini Allah sebagai Rabb, Pencipta Yang Maha Esa dan ia beribadah hanya kepada Allah saja, sebagai puncak tujuannya dan yang paling dicintainya daripada yang lain.[9]
Termasuk keutamaan ibadah bahwasanya ibadah dapat meringankan seseorang untuk melakukan berbagai kebajikan dan meninggalkan kemunkaran. Ibadah dapat menghibur seseorang ketika dilanda musibah dan me-ringankan beban penderitaan saat susah dan mengalami rasa sakit, semua itu ia terima dengan lapang dada dan jiwa yang tenang.
Termasuk keutamaannya juga, bahwasanya seorang hamba dengan ibadahnya kepada Rabb-nya dapat mem-bebaskan dirinya dari belenggu penghambaan kepada makhluk, ketergantungan, harap dan rasa cemas kepada mereka. Maka dari itu, ia merasa percaya diri dan berjiwa besar karena ia berharap dan takut hanya kepada Allah saja.
Keutamaan ibadah yang paling besar bahwasanya ibadah merupakan sebab utama untuk meraih keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, masuk Surga dan selamat dari siksa Neraka.
[Disalin dari buku Prinsip Dasar Islam Menutut Al-Qur'an dan As-Sunnah yang Shahih, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan ke 2]
__________
Foote Note
[1]. Pembahasan ini dinukil dari kitab ath-Thariiq ilal Islaam (cet. Darul Wathan, th. 1421 H) oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Hamd, al-‘Ubudiyyah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tahqiq Syaikh ‘Ali bin Hasan ‘Abdul Hamid, dan Mawaaridul Amaan al-Muntaqa min Ighaatsatul Lahafan oleh Syaikh ‘Ali bin Hasan ‘Abdul Hamid.
[2]. Lihat al-‘Ubuudiyyah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, tahqiq Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali ‘Abdul Hamid al-Halaby al-Atsary (hal. 161-162), Maktabah Darul Ashaalah 1416 H
[3]. Zindiq adalah orang yang munafik, sesat dan mulhid.
[4]. Murji’ adalah orang murji’ah, yaitu golongan yang mengatakan bahwa amal bukan bagian dari iman, iman hanya dalam hati.
[5]. Haruriy adalah orang dari golongan khawarij yang pertama kali muncul di Harura’, dekat Kufah, yang berkeyakinan bahwa orang mukmin yang berdosa besar adalah kafir.
[6]. HR. Muslim (no. 1718 (18)) dan Ahmad (VI/146; 180; 256), dari hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anha.
[7]. Lihat al-‘Ubudiyyah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, tahqiq ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid (hal. 221-222).
[8]. Lihat surat Al-Maa-idah ayat 3.
[9]. Mawaaridul Amaan al-Muntaqa min Ighatsatul Lahafan (hal. 67), oleh Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid

Kemungkaran Seputar Haji

Perjalan suci menuju Baitullah membutuhkan bekal yang cukup. Disamping harta yang dengannya bisa sampai ke Baitullah, bekal ilmu pun sangat mutlak dibutuhkan. Dengan ilmu, seseorang akan terbimbing untuk melakukan ibadah haji sesuai dengan tuntunan Rasulullah . Lebih dari itu, akan terhindar dari berbagai macam bid’ah dan kesalahan, sehingga hajinya pun sebagai haji mabrur yang tiada balasan baginya kecuali al jannah.
Berangkat dari harapan inilah, pada edisi kali ini kami angkat perkara-perkara mungkar baik berupa bid’ah (hal-hal yang diada-adakan dalam agama) ataupun kesalahan-kesalahan haji yang dapat menghalangi seseorang untuk meraih predikat haji mabrur.
Diantara kemungkaran-kemung karan itu adalah sebagai berikut :
A. KEMUNGKARAN SEBELUM BERANGKAT HAJI
1. Mengadakan pesta (selamatan) sebelum berangkat haji dengan bacaan do’a-do’a ataupun shalawat, yang terkadang diiringi dengan pentas musik. Perbuatan ini tidak ada dasarnya sama sekali dari Al Qur’an maupun As Sunnah.
2. Melantunkan adzan sebelum berangkat.
3. Mengharuskan ziarah kubur sanak famili dan orang-orang shalih.
4. Keyakinan masyarakat bahwa calon jama’ah haji diiringi Malaikat sepekan sebelum keberangkatannya, sehingga mereka pun berdatangan kepadanya untuk minta do’a.
5. Kepergian wanita ke Baitullah tanpa disertai mahram. Bahkan ada istilah ‘persaudaraan nisbi’, yaitu wanita yang dimahramkan saat berhaji dengan pria yang bukan mahramnya, sehingga keduanya dapat bermumalah seperti layaknya dengan mahram yang sebenarnya. Demikian pula ‘nikah nisbi’, yaitu dinikahkannya seorang wanita baik sudah bersuami atau belum dengan seorang lelaki yang akan berhaji, sehingga keduanya dapat bermumalah seperti layaknya suami istri. Ini adalah kemungkaran yang tidak diridhoi Allah.
6. Berhaji hanya dalam rangka ziarah ke kubur Nabi .
7. Sholat dua rakaat ketika akan berangkat haji.
B. KEMUNGKARAN KETIKA BERIHRAM DAN BERTALBIYAH
1. Tidak berihram ketika melewati miqat. Hal ini banyak terjadi -khusus untuk jama’ah haji Indonesia- pada kloter yang langsung menuju Makkah. Mereka tidak berihram ketika melewati miqat (Yalamlam) dan baru berihram di Jeddah.
2. Bertalbiyah bersama yang dipimpin oleh seseorang diantara mereka.
3. Mengenakan pakaian ihram dengan membuka pundak kanan (yaitu pakaian atas bagian kanan diletakkan dibawah ketiak sedangkan yang kiri tetap diatas pundak kiri, semestinya hal ini khusus ketika thawaf saja).
4. Bacaan talbiyah diganti dengan tahlil dan takbir.
C. KEMUNGKARAN KETIKA MELAKUKAN THAWAF.
1. Mandi sebelum thawaf.
2. Melafadzkan niat thawaf.
3. Mengangkat tangan saat menyentuh Hajar Aswad seperti mengangkat tangan ketika sholat.
4. Memulai thawaf sebelum Hajar Aswad
5. Sholat Tahiyyatul Masjid sebelum thawaf.
6. Hanya mengeliling bangunan Ka’bah yang bersegi empat saja dan tidak mengelilingi Hijr Isma’il.
7. Berjalan cepat (raml) pada seluruh putaran yang tujuh, padahal hal itu hanya dilakukan pada 3 putaran pertama dan itu pun khusus pada thawaf qudum saja.
8. Berdesak-desakan untuk dapat mencium Hajar Aswad sampai-sampai terjadi saling mencaci, bahkan sampai berkelahi.
9. Mengusap Hajar Aswad dalam rangka tabarruk (mengais berkah) dan meyakini bisa memberikan manfaat dan menolak bala’.
10. Mencium atau mengusap sebagian atau semua pojok Ka’bah -bahkan seluruh dindingnya-. Tidak jarang pula mereka menarik-narik kiswah (kain penutup Ka’bah), bahkan menyobeknya untuk dijadikan jimat.
11. Membaca do’a/dzikir khusus setiap kali putaran, padahal boleh baginya berdo’a dengan do’a apa saja yang ia senangi.
12. Bersedekap ketika thawaf.
13. Keyakinan bahwa siapa yang bisa menggapai dinding bagian atas dari pintu Ka’bah maka dia berhasil memegang Al ‘Urwatul Wutsqa, yaitu:
لا اله الاّ الله.
14. Berdesak-desakan untuk sholat di belakang maqom Ibrohim sehingga mengganggu jama’ah yang lainnya, padahal boleh baginya untuk sholat di belakang maqom Ibrohim walaupun agak jauh darinya, dan bila tidak memungkin boleh di bagian manapun dari masjid.
15. Lebih parah lagi bila sholatnya lebih dari 2 raka’at.
16. Berdo’a bersama seusai thawaf sambil berdiri dengan satu komando, tragisnya dengan suara keras sehingga mengganggu jama’ah yang lainnya.
D. KEMUNGKARAN KETIKA MELAKUKAN SA’I
1. Berwudhu’ terlebih dahulu untuk sa’i meski ia dalam keadaan suci.
2. Naik ke Bukit Shofa dan menyentuhkan badan ke dindingnya.
3. Ketika naik ke bukit Shofa dan Marwah menghadap ke Ka’bah kemudian bertakbir tiga kali sambil mengangkat tangan seperti dalam sholat.
4. Berlari-lari kecil antara Shofa dan Marwah, padahal menurut sunnah dilakukan diantara dua tanda hijau saja.
5. Sholat dua raka’at seusai sa’i.
E. KEMUNGKARAN KETIKA DI ARAFAH
1. Mandi untuk menyambut Hari Arafah.
2. Wuquf di Arafah pada tanggal 8 dalam rangka ihtiyath (hati-hati)
3. Melakukan wuquf di luar batas wilayah Arafah.
4. Menentukan dzikir atau do’a khusus yang tidak diajarkan oleh Rasulullah .
5. Meninggalkan Arafah sebelum terbenamnya matahari.
6. Keyakinan bahwa wuquf di Arafah pada Hari Jum’at merupakan haji akbar dan senilai dengan 72 kali haji.
F. KEMUNGKARAN KETIKA DI MUZDALIFAH
1. Tergesa-gesa saat beranjak dari Arafah menuju Muzdalifah.
2. Mandi untuk menginap di Muzdalifah.
3. Tidak segera melaksanakan sholat Maghrib saat tiba di Muzdalifah dan justru sibuk mengumpulkan kerikil.
4. Wuquf di Muzdalifah tanpa menginap.
G. KEMUNGKARAN SAAT MELEMPAR JUMRAH
1. Mandi sebelum melempar jumrah.
2. Mencuci kerikil dahulu sebelum dilemparkan.
3. Melempar jumrah bukan dengan kerikil tapi dengan batu besar, sepatu, atau yang lainnya.
4. Keyakinan bahwa melempar jumrah adalah dalam rangka melempari syaithan. Sehingga tidak jarang mereka lemparkan benda-benda lain, seperti sandal, payung, botol, dan yang lainnya, agar lebih menyakitkan bagi syaithan.
5. Berdesak-desakan, bahkan untuk dapat melempar ada yang menyakiti jama’ah haji lainnya.
6. Melemparkan kerikil-kerikil tersebut secara sekaligus, semestinya satu persatu sambil diiringi takbir.
7. Mewakilkan pelemparan kepada orang lain, sedangkan ia mampu.
H. KEMUNGKARAN SAAT MENYEMBELIH DAN TAHALLUL
1. Mengganti hewan sembelihan dengan uang.
2. Menyembelih hewan qurban untuk haji tamattu’ di Makkah sebelum hari nahar (tanggal 10 Dzulhijjah)
3. Menggundul dari sebelah kiri, atau menggunduli seperempat bagian kepala saja.
4. Berthawaf di seputar masjid yang ada di dekat tempat pelemparan jumrah.
5. Tidak melakukan sa’i setelah thawaf ifadhah dalam haji tamattu’.
I. KEMUNGKARAN KETIKA THAWAF WADA’
1. Meninggalkan Mina pada hari nafar (12 atau 13 Dzulhijjah) sebelum melempar jumrah dan langsung melakukan thawaf wada’ kemudian kembali ke Mina untuk melempar jumrah. Setelah itu mereka langsung pulang ke negara masing-masing. Padahal semestinya sebagai penutup dari seluruh manasik haji adalah thawaf wada’.
2. Berjalan mundur ketika selesai dari thawaf wada’ dengan anggapan sebagai tanda penghormatan terhadap Ka’bah.
3. Membaca do’a-do’a tertentu sebagai “ucapan selamat tinggal” terhadap Ka’bah.
J. KEMUNGKARAN KETIKA BERADA DI KOTA MADINAH
1. Sengaja meniatkan safar untuk menziarahi makam Rasulullah . Semestinya diniatkan untuk mendatangi Masjid Nabawi.
2. Menitipkan pesan melalui jama’ah haji dan para penziarah untuk disampaikan kepada Nabi. Lebih aneh lagi disertai foto/KTP yang bersangkutan.
3. Praktek-praktek kesyirikan yang dilakukan di kuburan Nabi, antara lain:
- Sengaja sholat dengan menghadap kubur
- Bertawasul atau minta syafa’at kepada beliau
- Mengusap-usap dinding kuburan untuk ngalap berkah, dan tidak jarang disertai tangisan bahkan histeris.
- Berdo’a atau meminta secara langsung kepada Rasulullah untuk mencukupi kebutuhannya seperti rizki, jodoh dan yang lainnya.
4. Meyakini bahwa ziarah ke kubur Nabi merupakan bagian dari manasik haji.
5. Keyakinan bahwa haji seseorang tidaklah sempurna tanpa menetap di Madinah selama 8 hari untuk sholat 40 waktu, yang diistilahkan dengan “arba’inan”.
K. KEMUNGKARAN SETIBA DI KAMPUNG HALAMAN
1. Mempopulerkan gelar ‘pak Haji’ atau ‘bu Haji’, sampai-sampai ada yang marah/tidak respon bila tidak dipanggil ‘Haji’.
2. Merayakannya dengan pesta-pesta sambil diiringi shalawat badar.
3. Meminta barakah kepada orang yang pulang haji, dengan keyakinan bahwa para malaikat mengelilinginya.
HADITS PALSU ATAU LEMAH YANG TERSEBAR DI KALANGAN UMAT
Dari Anas bin Malik ?, ia berkata: bahwasanya Rasulullah bersabda:
“Barangsiapa yang sholat di masjidku (Masjid Nabawi) sebanyak empat puluh (40) sholat, tanpa ada satupun yang terlewati, maka ditetapkan baginya: bebas dari an naar, selamat dari adzab, dan terlepas dari nifaq.” (HR. Ahmad dan Ath Thabrani)
Keterangan:
Hadits ini munkar (lebih parah daripada dho’if atau lemah), karena tidak ada yang meriwayatkan hadits ini kecuali Nabith, dan ia seorang yang tidak dikenal (majhul), serta menyelisihi seluruh perawi hadits Anas ? ini. (Lihat Silsilah Adh Dho’ifah no. 364 atau Silsilah Ash Shohihah, 6/318 karya Asy Syaikh Al Albani)
SERUAN UNTUK SELURUH KAUM MUSLIMIN
Hukum Meramaikan Perayaan Orang-Orang Kafir
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Tidak boleh bagi kaum muslimin untuk meniru-niru mereka (Yahudi, Nashrani atau orang-orang kafir lainnya-pen) dalam hal-hal yang dikhususkan untuk perayaan-perayaan mereka (diantaranya Natal dan Tahun Baru Masehi-pen). Tidak pula dalam bentuk makanan, pakaian, mandi, menyalakan api, meliburkan kebiasaan bekerja atau beribadah, atau yang selainnya. Dan tidak boleh mengadakan pesta, atau memberikan hadiah, atau menjual sesuatu yang membantu dan bertujuan untuk acara tersebut. Serta tidak boleh membiarkan anak-anak kecil atau yang seusianya untuk bermain-main yang kaitannya dengan perayaan tersebut dan tidak boleh memasang hiasan (menghiasi rumah/tempat tertentu dalam rangka untuk menyemarakkan perayaan tersebut-pen).” (Majmu’ Fatawa 25/329).
Sumber Bacaan:
1. Mu’jamul Bida’ karya Asy Syaikh Raid bin Sabri bin Abi Alfah.
2. At Tahqiq wal Idhoh karya Asy Syaikh Abdul Aziz bin Baz.
3. Hajjatun Nabi karya As Syaikh Al Albani.
4. Manasikul Hajji wal Umroh karya As Syaikh Ibnu Utsaimin
5. Sifat Hajjatin Nabi karya As Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu.
6. Dalilul Haajji wal Mu’tamir karya Majmu’ah minal ‘ulama.
POLIGAMI DALAM ISLAM
Pendahuluan
Islam adalah agama universal yang
mengatur segenap tatanan kehidupan manusia. Sistem dan konsep yang dibawa Islam
sesungguhnya padat nilai dan memberikan manfaat yang luar biasa kepada umat
manusia. Konsepnya tidak hanya berguna pada masyarakat muslim, tapi dapat
dinikmati siapapun. Sistem Islam ini tidak mengenal batas ruang dan waktu,
tetapi selalu laik diterapkan kapan dan di mana saja tanpa menghilangkan
faktor-faktor kekhususan suatu masayarakat. Semakin utuh konsep itu
diaplikasikan, semakin besar manfaat yang diraih.
Di sisi lain,
syariat Islam banyak dipahami orang secara keliru. Penyebab utama adalah faktor
“keawaman” terhadap hukum Allah ini. Juga tak bisa dipungkiri keterlibatan
Barat dalam memperburuk asumsi itu.
Allah SWT yang menciptakan manusia, tidak
mungkin menetapkan yang tidak relevan dengan kehidupan manusia. Allah Maha
Mngetahui segala sesuatu, termasuk sikap, sifat dan kecenderungan manusia
dengan segala tabiatnya, baik dia jenis laki-laki maupun wanita, baik secara
individu maupun sosial.Di antara beberapa hukum yang mendapat
perhatian Allah SWT dalam kaitannya dengan manusia adalah hukum poligami
(ta’addud zaujat).
Poligami merupakan persoalan kemanusiaan dan masyarakat
yang selalu menjadi bahan perbincangan di setiap tempat dan waktu. Bukan karena
Islam telah menurunkan syariat tentang itu, tapi jauh sebelumnya persoalan
poligami sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia di setiap
zaman.
Pada zaman kini pun banyak kita temukan pendapat pro dan kontra di
sekitar persoalan ini. Sebagian masyarakat dewasa ini banyak melihat dengan
sebelah mata terhadap lelaki yang mempunyai lebih dari satu isteri. Bahkan
orang yang berpoligami terkadang menjadi buah bibir dan cemoohan di masyarakat.
Banyak tuduhan negatif yang dilemparkan kepada mereka yang berpoligami. Hal ini
disebabkan suatu kenyataan bahwa kebanyakan dari mereka sering menimbulkan
masalah dalam keluarganya. Di sisi lain ada orang yang berpandangan bahwa
poligami adalah sunnah Rasulullah SAW sehingga mendorongnya untuk melakukan
ibadat sunnah sebanyak-banyaknya, termasuk berpoligami. Bahkan ada sebagian
orang berpendapat bahwa poligami adalah suatu kewajiban sesuai dengan ayat yang
tersebut dalam Al-Qur’an, dengan alasan bahwa kalimat (amr) perintah dalam
Al-Qur’an tersebut mengandung hukukm wajib.
Lalu bagaimana
sebenarnya Islam menyikapi persoalan ini?. Tulisan ini mencoba mengetengahkan
persoalan di atas menurut pandangan Islam. Harapan penulis semoga tulisan yang
sederhana ini menambah wawasan pengetahuan kita tentang ajaran Islam universal,
meskipun penulis sadar bahwa hal ini belum sepenuhnya mendudukkan persoalan
pada proporsinya yang sesuai dengan Islam.
Poligami
Dalam Tinjauan Historis
Persoalan poligami bukan hanya eksis pada
masa Islam, ia telah ada sejak sebelum datangnya Islam dan telah dipraktekkan
oleh bangsa-bangsa terdahulu., seperti bangsa Yunani, Cina, India, Babilonia,
Mesir dan bangsa lain yang mempunyai peradaban tinggi dalam sejarah dunia.
Bahkan bangsa Cina pernah mempunyai undang-undang yang membolehkan laki-laki
berpoligami dengan 130 wanita. Sejarah Cina juga pernah mencatat bahwa salah
seorang bangsawannya pernah memiliki isteri sebanyak 30.000
isteri.Bangsa Yahudi pun tidak berbeda dengan bangsa lainnya. Ia
membolehkan pengikutnya berpolgami. Bahkan para nabi Bani Israil, tanpa
terkecuali, mempunyai banyak isteri. Dalam sejarah tercatat bahwa Nabi Sulaiman
memiliki 700 isteri dari orang merdeka dan 300 wanita dari kalangan hamba
sahaya.
Dalam Bibel, meskipun tidak ada ayat-ayat yang menyentuh poligami,
tapi tidak ada satu ayat pun yang melarang poligami. Di sana Cuma ada nasehat
bahwa Tuhan telah menjadikan bagi laki-laki seorang isteri. Secara tersirat,
ayat ini mengandung pengertaian bahwa boleh berpoligami dalam situasi tertentu,
sebab tidak ada yang menyebutkan bahwa bila seseorang kawin dengan isteri kedua
disebut sebagai penzina. Meskipun dalam Bibel tidak disebutkan secara sarih,
tapi surat Paulus menyebutkan bolehnya berpoligami. Surat Paulus itu berbunyi:
“Seorang uskup hanya boleh memiliki satu isteri”. Bunyi surat ini
mengandung arti boleh berpoligami bagi selain uskup.
Waster Mark,
pakar sejarah perkawinan pernah menulis: “Poligami telah diakui gereja hingga
abad ke 17”. Ia juga menyebutkan bahwa raja Irlandia, Masdt memiliki dua
isteri.
Marthin Luther pun sering berbicara tentang poligami dan tak seorang
pun mengingkarinya.
Pada tahun 1949 penduduk Bonn pernah mengajukan tuntutan
kepada pemerintahnya agar memasukkan hukum dibolehkannya poligami dalam
undang-undang Jerman.
Memang para pakar telah banyak memuji hukum poligami, di
antaranya Grotius, seorang ahli hukum terkenal. Ia membenarkan telah terjadi
poligami pada para pendeta dan nabi bangsa Ibrani yang tersebut dalam
Perjanjian Lama.
Dalam sejarah pun pernah disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW
pernah memerintahkan seorang yang telah masuk Islam untuk mencerai
isteri-isterinya yang berjumlah lebih dari empat dan untuk cukup dengan empat
isteri saja. Ini menunjukkan bahwa pada zaman Jahiliyyah telah terjadi
poligami.
Poligami dan Islam
align=”justify”> Dalam Islam
masalah poligami sudah tidak asing lagi. Dan justrtu ramainya perbincangan
tentang poligami lebih dikarenakan ia ada dalam hukum Islam yang dewasa ini
Islam menjadi sasaran serangan kaum yang benci terhadap Islam, terlebih setelah
timbulnya analisis dari seorang pakar futurulog Samuel Huntington yang
menyatakan bahwa setelah runtuhnya masa perang dingin dengan Uni Soviet
(komunis), akan terjadi pertentangan antara peradaban Barat dengan
Islam.
Dalam menyikapi persoalan poligami, ada dua ayat dalam surat An-Nisa
yang saling berhubungan untuk mengambil suatu natijah hukum, atau paling tidak
mengenal lebih proporsional kedudukan poligami dalam Islam.
Ayat pertama
terdapat dalam surat An-Nisa ayat 3 yang berbunyi: وان
خفتم ألا تقسطوا في اليتامى فانكحوا ما طاب
لكم من النساء مثنى وثلاث ورباع فان خفتم
ألاتعدلو فواحدة أو ما ملكت أيمنكم ذلك أدنى
ألا تعولوا
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu
mengawininya), maka kawinlah wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau
empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berbuat adil, maka (kawinlah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki, yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya (Ani-Nisa: 3)
Ayat berikutnya
firman Allah SWT:
ولن تستطيع أن تعدلوا بين
النساء ولو حرصتم فلا تميلوا كل الميل
فتذروها كالمعلقة وأن تصلحوا وتتقوا فا ن
الله كان غفورا رحيما
“Dan kamu
sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walau
pun kamu sangat ingin berbuat demikian. Karena itu jangan kamu terlalu
cenderung (kepada yang kamu cintai) sehingga kamu biarkan yang lain
terkatung-katung, dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari
kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
(An-Nisa: 129)
Dari dua ayat di atas dapat diambil kesimpulan sebagaimana
yang dipahami pula oleh Jumhur muslimin sejak zaman Nabi, sahabat, tabi’in
dan masa tumbuhnya ijtihad sebagai berikut:
1. Hukum poligami hingga empat
isteri adalah mubah, karena lafadz “fankihu” walaupun berupa amr
(perintah) tapi mengandung makna mubah, bukan wajib. Sebagaimana hal itu pun
menjadi pendapat jumhur mujtahidin dalam setiap masa. Oleh karena itu
pendapat yang mengatakan bolehnya berpoligami lebih dari empat adalah
pendapat yang tidak berdasar.
2. Mubahnya hukum pilogami harus dengan syarat dapat berbuat
adil terhadap para isteri. Jika tidak yakin bahwa dirinya tidak dapat berbuat
adil, maka tidak boleh kawin poligami. Namun demikian bila orang tersebut
melangsungkan perkawinannya, maka akad nikahnya tetap sah menurut ijma’
(konsensus) ulama meskipun ia tetap dihukumi berdosa. Para ulama sepakat,
sebagaimana dikuatkan oleh tafsir dan perbuatan rasulullah SAW, bahwa yang
dimaksud dengan adil di sini (ayat pertama) adalah adil dalam pengertian segi
materi, seperti rumah, pakaian, makanan, minuman dan segala sesuatu yang
berhubungan dengan mu’amalah kepada isteri.
3. Ayat pertama menunjukkan
persyaratan kemampuan memberi nafkah kepada isteri kedua dan anak-anaknya.
Hal ini berdasarkan lafadz “an laa ta’uulu” yang berarti
jangan memperbanyak keluargamu. Ini merupakan tafsir ma’tsur dari Imam
Syafi’i. Persyaratan ini merupakan syarat keagamaan bukan syarat
qodlo’ (sah atau tidaknya perbuatan).
4. Ayat kedua memberi gambaran bahwa
berbuat adil dalam mencintai isteri-isteri adalah suatu hal di luar
kemampuan. Oleh karena itu sang suami hendaknya jangan terlalu berpaling
membiarkan isteri pertama sehingga terkatung-katung, digauli tidak,
diceraikan pun tidak. Tapi hendaknya sang suami dapat menggaulinya dengan
lemah lembut dan baik semampunya, sehingga dapat meraih cintanya lagi. Oleh
sebab itu ketika Rasulullah SAW berusaha berbuat adil terhadap
iateri-isterinya beliau berkata:
اللهم
هذا قسمي فيما أملك فلا تؤاخذني فيما لا
أملك
“Ya Allah, inilah bagaianku yang ku miliki, janganlah Kau
hukum aku pada apa yang tak ku miliki”
Namun demikian, di sisi lain ada
sebagian orang memahami kedua ayat di atas sebagai sesuatu larangan
berpoligami. Mereka mendasrkan pendapatnya bahwa ayat pertama mensyaratkan adil
terhadap isteri-isteri, sedangkan ayat ke dua menunjukkan kemustahilan
melakukannya. Sehingga, menurut mereka, poligami disyaratkan dengan suatu
syarat yang mustahil terwujud, jadi poligami adalah dilarang.
Tentunya pendapat mereka ini mempunyai kelemahan dan dapat dibantah dari beberapa
tinjauan:
1. Bahwa dalil yang menjadi syarat pada ayat pertama bukan adil yang
disebutkan pada ayat kedua. Yang dimaksud dengan adil pada ayat pertama
adalah adil yang masih mungkin dapat dilakukan suami, yaitu adil yang
bersifat materi seperti pakaian, nafkah dan lain sebagainya. Sedangan adil
yang tidak mungkin terwujud –seperti yang tersebut pada ayat ke dua- adalah
adil maknawi (abstrak) seperti rasa cinta dan kecendrungan hati. Sebab
biasanya bila seorang kawin lagi dengan wanita kedua, ia lebih cenderung
berpaling dari isteri pertama. Namun demikian, adil bersifat materi tetap
menjadi syarat kelangsungan berpoligami.
2. Allah hanya memberi taklif (kewajiban)
kepada hambanya yang mampu, padahal dalam ayat kedua jelas-jelas Allah
menyatakan ketidakmampuan manusia berbuat adil maknawi. Oleh karena itu Allah
tidak akan menghukum dan menyalahkan orang yang memang jelas-jelas tidak
mampu melakukannya dan oleh karena itu, adil pada ayat kedua tidak di tuntut
oleh Allah SWT.
3. Jika Allah melarang poligami, maka mengapa Allah berfirman pada
ayat pertama “Nikahilah wanita-wanita yang baik; dua, tiga, empat”?. Jika
Allah bermaksud melarang, mengapa tidak langsung saja berkata: “Janganlah
kawin dua dan seterusnya”?
4. Jika poligami dilarang dalam Islam, mengapa Rasulullah SAW
menyetujui poligami para sahabat?. Sebagaimana kita ketahui bahwa Rasululla
SAW pernah mengizinkan poligami hingga empat wanita tatkala banyaknya orang
masuk Islam dan memiliki lebih dari empat isteri, lalu rasulullah SAW
membatasinya hingga empat saja.
Di samping itu sejarah membuktikan
bahwa para sahabat, tabi’in dan para ulama ada yang berpoligami. Maka tidak
mungkin pula kita mengatakan bahwa mereka salah dalam memahami dua ayat di
atas. Karena para sahabat, tabi’in dan ulama adalah orang yang mengerti akan
ajaran Islam.
Islam dan Reformasi
Poligami
Sebagaimana disebutkan di awal Tulsan ini bahwa praktek
poligami telah ada sebelum datangnya Islam. Maka ketika Islam datang ia telah
melakukan beberapa reformasi dalam bidang poligami, di antaranya adalah
pembatasan poligami hingga empat wanita saja. Karena sebagaimana ditemukan pada
masyarakat Jahiliyyah bahwa seorang laki-laki boleh mengawini lebih dari empat
wanita.
Bentuk refomasi lainnya adalah bahwa Islam menekankan berbuat adil
terhadap isteri-isteri. Contoh yang jelas dalam masalah ini adalah ketika
Rasulullah SAW sakitnya keras dan mendekati kematian. Beliau ingin sekali
bermalam di setiap isteri-isterinya hingga ketika tidak bisa lagi berjalan
beliau meminta ijin kepada isteri-isterinya untuk tinggal di tempat Aisyah
ra.
Bentuk reformasi lain adalah bahwa Islam telah menanamkan rasa takut
kepada Allah SWT. Dengan demikian ketika menghadapi isterinya, seorang muslim
tidak berbuat semena-mena dan semaunya. Ia menjadi orang tawadhu’ dan berbuat
baik terhadap isteri-isterinya.
Dengan pendidikan Islam seperti inilah
terwujudnya ketenteraman, hilangnya cemburu buta dan kerukunan di antara
anggota keluarga. Rumah tanggal ideal seperti inilah yang pernah dialami para
sahabat dan orang-orang yang bertakwa pada masa permulaan
Islam.
Urgensi Poligami Secara Sosial.
Dalam sekala sosial, poligami mempunayi beberapa urgensi:
Pertama, dalam situasi normal.
Sering terjadi populasi wanita melebihi jumlah pria, sebagaimana yang ditemukan
di negara-negara Eropa Utara. Pada masa di mana tidak ditemukan peperangan,
biasanya jumlah kaum hawa lebih banyak dari kaum Adam. Salah seorang dokter
bersalin di Helsinky, Finlandia pernah berkata bahwa setiap terjadi kelahiran
empat bayi, satu dari padanya adalah bayi laki-laki.
Dalam kondisi seperti ini, maka poligami merupakan persoalan yang urgen, baik ditinjau dari
kemaslahatan etika maupun sosial. Poligami dalam kondisi ini lebih baik dari
pada ditemukannya wanita-wanita yang tak mendapatkan jodoh bergentayangan di
jalan-jalan, tidak punya keluarga, tidak pula rumah. Keadaan ini dapat
mengundang kejahatan dan perilaku negatif serta penyakit
sosial.
Oleh karena itu sejak awal abad ini, para pakar Barat yang sadar
akan bahaya pelarangan poligami telah mewanti-wanti bahaya pelarangan tersebut
dengan timbulnya kenakalan wanita dan lahirnya anak-anak tanpa ayah. Dalam
edisinya tanggal 20 April 1901 harian “Lagos Weekly Record” pernah memuat
tulisan yang dinukil dari dari harian “London Trust” tulisan seorang wanita
Inggris yang berbunyi: “Telah banyak wanita jalanan di tengah-tengah
masyarakat kita, tapi sedikit sekali para ilmuwan membahas sebab-sebabnya. Saya
adalah seorang wanita yang hati ini merasa pedih menyaksikan pemandangan ini.
Tapi kesedihanku tak bermanfaat apa-apa, maka tidak ada jalan lain kecuali
menghilangkan kondisi ini. Maka benarlah apa yang dilakukan seorang ilmuwan
bernama Thomas, ia telah melihat penyakit ini dan menyebutkan obatnya, yaitu
“membolehkan laki-laki kawin dengan lebih dari satu wanita”. Dengan cara
inilah segala musibah akan berlalu, dan genarasi wanita kita akan mempunyai
rumah tangga. Bencana yang besar kini adalah karena memaksa pria Eropa untuk
cukup kawin dengan satu orang wanita”.
Kedua, dalam kodisi di mana jumlah
laki-laki lebih sedikit dari jumlah wanita akibat pertempuran atau bencana
alam. Dalam kondisi ini maka poligami menjadi urgen bagi tatanan sosial seperti
yang terjadi pada masa perang dunia.
Urgensi Poligami Secara
Individual
Di samping urgensi poligami secara sosial, ada beberapa
hal sehingga secara individual pun poligami menjadi sesuatu yang sangat urgen.
Antara lain adalah:
Pertama, bila seorang isteri mandul sementara sang suami
ingin sekali memiliki keturunan. Keinginan memiliki keturunan adalah sesuatu
hal yang wajar dan fitrah. Dalam situasi seperti ini hanya ada dua kemungkinan:
mencerai isteri mandul atau kawin lagi. Tentunya mempertahankan perkawinan bagi
seorang laki-laki dan wanita adalah lebih baik dari pada bercerai. Biasanya
seorang wanita yang mandul lebih memilih dimadu dari pada hidup sendirian.
Sebab bila memilih cerai, ia khawatir tidak ada lelaki lain yang ingin
mengawininya.
Kedua, bila isteri mempunyai suatu penyakit yang menyebabkan
suami tidak bisa menggaulinya. Bila dicerai biasanya suami akan merasa malu
terhadap masyarakatnya, demikian juga isteri akan merasa tidak berarti lagi
dalam hidupnya. Sementara itu kebutuhan biologis suami harus tetap dipenuhi.
Oleh karena itu dalam keadaan demikian, maka poligami adalah jalan keluar dari
persoalan di atas.
Ketiga, keadan laki-laki mempunyai kecendrungan hiper sex
yang bila hanya satu isteri, kebutuhannya tidak terpenuhi, baik karena sang
isteri memasuki masa monopause maupun disebabkan datang bulan (haid). Dalam
keadaan ini tentunya poligami adalah tindakan yang paling baik dibandingkan
harus “jajan” di tempat-tempat mesum.
Dari keterangan di atas tentang
beberapa keadaan di mana poligami menjadi begitu urgen bagi seorang laki-laki,
timbul pertanyaan, mengapa tidak diberi kesempatan pula kepada wanita untuk
melakukan hal yang sama, yaitu dengan melakukan poiandri (mempunyai lebih dari
satu suami) ?. Jawaban atas pertanyaan ini dapat dikemukakan dengan simpel
saja. Yaitu bahwa persamaan hak dalam masalah poligami antara laki-laki dan
wanita adalah perkara yang mustahil. Sebab berapa pun jumlah suami seorang
wanita, ia tetap akan hamil dan melahirkan setahun sekali. Berbeda dengan
laki-laki yang bisa saja mempunyai beberapa anak dari isteri-isterinya. Bila
seorang wanita mempunyai lebih dari satu suami, kepada siapakah anaknya nanti
akan dinisbatkan ? apakah kepada mas Slamet, le Toha atau kang Dandi ? atau di
sebut bin rame-rame ?. Di samping itu, siapakah yang akan menjadi kepala
keluarganya ? Mungkinkah kepala keluarga dipegang oleh orang
banyak?.
Sisi Negatif Poligami.
Selain beberapa keunggulan yang terdapat pada sistem poligami, kita juga tidak menutup mata
bahwa secara empiris masih dijumpai sisi negatif dari poligami. Sisi negatif
ini timbul disebabkan beberapa faktor. Namun faktor utama dari segalanya adalah
kembali kepada manusianya itu sendiri. Banyak dari kalangan kita yang
menyalahgunakan kebolehan polgami ini, di samping itu keislaman dan kesalehan
orang yang bersangkutan masih kurang dari yang diharapkan. Maka banyak terjadi
berbagai persoalan negatif yang ditimbulkan poligami, antara
lain:
1. Timbulnya rasa dengki dan permusuhan di antara para isteri.
Persaaan ini biasanya timbul karena suami lebih mencintai satu isteri dari
pada isteri yang lain, atau karena kurang adanya keadilan. Tapi hal ini
jarang terkadi bila sang suami dan isteri mengerti hak dan
kewajibannya.
2. Perasaan di atas juga biasanya terwarisi hingga kepada
anak-anaknya dari masing-masing isteri, sehingga rasa persaudaraan tidak ada
lagi.
3. Timbulnyatekanan batin bagi sang isteri pertama, karena biasanya sang suami lebih
mencintai isteri barunya. Perasaan ini mengakibatkan isteri pertama kurang
bahagia dalam hidupnya.
4. Poligami juga menjadi penyebab timbulnya genarasi santai,
mereka lebih suka bermejeng di jalanan untuk menghabis-habiskan masa mudanya.
Hal ini juga disebabkan karena kurangnya perhatian dari sang
ayah.
Dalam menjalani peraturan agama, memang ada beberapa hal
yang harus kita hadapai dengan pengorbanan. Dalam poligami, kenyataan itu
hampir sama yang ditemukan pada perang (jihad). Di sana ada yang sakit, terluka
dan tewas menjadi korban. Tapi bila timbulnya korban adalah suatu hal yang
harus terjadi karena suatu kondisi, maka justru segala pengorbanan dan
penderitaan harus dipikul. Oleh karena itu Dr. Musthofa Siba’i dan Muhammad
Qutub menyatakan bahwa poligami dapat dilaksanakan hanya dalam keadaan darurat.
Oleh sebab itu bila seseorang melakukan sesuatu yang menimbulkan pengorbanan
dan penderitaan tanpa didasari keadaan darurat, maka sama saja orang itu
seperti orang gila.
Sementara itu di sisi lain, kita tidak pula mengatakan bahwa
perasaan yang dialami wanita sebagai sesuatu yang menafikan hukum poligami.
Sebab bila seorang laki-laki tetap melirik wanita lain, akankah ketiadaan hukum
poligami menghilangkan kecenderungan lelaki tersebut ? Bukankah ia bisa saja
menghianati isterinya ? Ia bisa juga berhubungan dan bergaul dengan wanita lain
tanpa diketahui sang isteri. Dan hal ini telah terjadi, bahkan meskipun sudah
diketahui sang isteri, tapi ia tidak berbuat apa-apa. Inilah yang sering banyak
terjadi di masyarakat Barat dan orang-orang yang suka menyeleweng (dalam arti
yang sebenarnya, tanpa nikah yang sah). Bila demikian halnya, bukankah lebih
baik bila isteri, suami dan wanita lain itu sama-sama tahu dan saling mengenal
serta saling rela dan sah ?. Bukankah lebih baik bila dilakukan tanpa melanggar
hukum Allah dan RasulNya?. Sehingga keturunan pun jelas dan terhindar dari
masksiat?.
Poligami dan Umat Islam
Kini
Setelah timbulnya kesadran umat Islam tentang besarnya
pengaruh pemikiran Barat melalui jalur informasi, buku-buku dan para
orientalisnya, para pakar Islam berupaya untuk menata kembali masyarakat Islam
agar bangkit dari tidurnya.
Di antara pemikiran Barat yang banyak
mempengaruhi pola pikir umat Islam adalah melempar keraguan kepada umat Islam
tentang hukum poligami. Sehingga persoalan ini menjadi perdebatan di kalangan
umat Islam. Sayangnya, banyaknya timbul poligami di kalangan umat Islam dewasa
ini justru terjadi di saat umat Islam tidak mengenal agamanya, jauhnya dari
hukum Islam dan akhlak Islam sehingga menyebabkan timbulnya penyakit sosial di
masyaraklat muslim. Di tengah kondisi keterbelakangan inilah kaum orientalis
Barat menyerang agama Islam dengan sangat empuknya.
Oleh Karena itu,
para pakar muslim terpanggil untuk menjawab segala tuduhan dan serangan mereka
tentang poligami. Di antara para pakar yang banyak menanggapi persoalan ini
adalah Syeikh Muhammad Abduh, Beliau menulis tentang bahaya poligami yang
beliau saksikan sendiri pada masanya. Beliau pernah menyampaikan ceramah di Al
Azhar yang salah seorang mahasiswanya bernama Rasyid Ridlo. Perkuliahan ini
kemudian dimuat dalam majalah “Al Mannar” yang kemudian dikutip dalam kitab
tafsirnya (juz 4/349).
Abduh berkata: “Orang yang menghayati kedua ayat
(maksudnya ayat An-Nisa yang tersebut di permulaan tulisan ini) ia akan
mengerti bahwa diperbolehkannya poligami dalam Islam adalah sebagai suatu
perkara yang mempunyai ruang sempit, ia seakan satu darurat yang hanya
diperbolehkan bagi yang membutuhkannya dengan persyaratan jujur dan adil serta
tidak berlaku lalim.. Bila melihat kerusakan yang terjadi di masyarakat kita
dewasa ini akibat poligami, kita meyakini bahwa sulit sekali membina
(mentarbiyah) masyarakat yang sudah banyak terjangkit poligami. Karena rumah
yang di sana terdapat dua isteri seakan tidak pernah ditemukan ketenangan,
tidak karuan, bahkan suami dan isteri-isteri seakan bekerja sama dalam
menciptakan kehancuran rumah tangga, seakan setiap pribadi adalah musuh bagi
lainnya hingga menjalar kepada anak-anaknya, anggota keluarga dan
masyarakat.
Abduh berkata pula: “Adalah poligami pada masa permulaan Islam
mempunyai beberapa manfaat, antara lain menyambung keturunan dan persaudaraan
dan tidak menyebabkan kerusuhan seperti sekarang ini. Sebab agama sudah
tertanam kuat pada diri kaum wanita dan pria. Oleh karena itu hendaknya
janganlah membiarkan kaum wanita tidak mengerti bagaimana menghormati suami dan
menyayangi anak. Jangan membiarkan wanita dalam kebodohannya tentang agama.
Seandainya wanita terdidik dengan pendidikan agama, ia menjadikan agama di atas
segala perasaan dan cemburunya sehingga tidak akan terjadi bahaya yang
diakibatkan poligami.
Beliau berkata pula: “Dengan demikian kita mengetahui
bahwa poligami adalah sebagai sesuatu yang haram ketika seseorang takut tidak
bias berbuat adil”.
Namuan demikian di bagian lain Abduh berkata: “Dari
penjelasan terdahulu, bukan berarti bahwa bila terjadi akad nikah (poligami)
maka tidak sah akadnya. Sebab keharaman sesuatu tidak berarti batalnya akad.
Karena bisa saja berbuat zalim ketika mulai berumah tangga kemudian sadar dan
taubat sehingga mencapai hidup bahagia”.
Dari ucapan Muhammad Abduh di atas,
Musthofa Siba’i menyimpulkannya sebagai berikut:
1. Abduh tidak melihat adanya
bahaya di masyarakat yang timbul akibat poligami pada masa permulaan
Islam
2. Abduh
melihat adanya bahaya yang timbul di masyarakat akibat poligami sebagaimana
ia saksikan
3.
Abduh juga mengusulkan pentingnya peraturan yang dapat
meminimalkan bahaya poligami di masyarakat.
Walaupun secara
eksplisit Abduh tidak melarang poligami, namun sebagian orang mungkin
memahaminya sebagai suatu larangan. Dalam hal ini kita tidak sependapat dengan
orang yang memahaminya sebagai suatu larangan. Karena pelarangan poligami sama
halnya dengan merubah hukum yang telah ditetapkan Allah SWT. Di samping itu
juga poligami masih tetap diperlukan dalam keadaan tertentu bagi suatu bangsa,
baik bersifat individual maupun sosial.
Rasulullah SAW dan Poligami Sebelum mengakhiri tulisan tentang poligami, kurang lengkap rasanya bila kita tidak
membahas tetang perkawinan dan poligami Rasulullah SAW. Sebagaimana kita ketahui, bahwa di antara beberapa hukum yang diturunkan kepada Rasulullah SAW
untuk umatnya, ada beberapa hukum yang hanya khusus diberlakukan kepada
Rasulullah SAW. Di antaranya adalah kewajiban qiyamullail bagi
Rasulullah SAW dan dibolehkannya berpoligami lebih dari empat wanita.
Kekhususan ini disebabkan beliau adalah seorang Rasul dan karena ada hikmah
tertentu yang Allah SWT inginkan.
Namun demikian pihak musuh Islam selalu
mencari jalan untuk dapat mengkritik Rasulullah SAW agar umatnya tidak lagi
menaruh hormat kepada nabinya atau menanamkan keraguan terhadap rasulnya.
Karenanya mereka tidak segan-segan melempar tuduhan kepada pribadi
beliau.
Di antara tuduhan mereka terhadap Rasulullah SAW adalah masalah
poligami. Mereka menuduh bahwa Rasulullah SAW adalah seorang yang sangat haus
sex, tukang main perempuan dan lain sebagainya. Oleh karena itu ia tidak puas
hanya dengan satu wanita. Ia juga sangat berbeda dengan Yesus (maksud mereka
Isa as). Isa adalah orang yang suci, tidak pernah mengumbar nafsunya, tidak
seperti Muhammad.
Untuk menjawab tuduhan di atas, ada dua hal penting yang
harus kita ingat:
1. Rasulullah SAW tidak pernah mengawini wanita lebih dari
satu, kecuali setelah beliau memasuki usia senja, yaitu usia lebih dari 50
tahun.
2. Seluruh
isteri-isteri Rasulullah SAW berstatus janda, kecuali hanya Aisyah
ra.
Dari dua point ini dapat kita simpulkan, bahwa meskipun
sebagai seorang manusia dan mempunyai nafsu birahi serta tidak menutup
kemungkinan ada dorongan naluri manusia dalam mengawini wanita-wanita, tapi di
balik itu semua ada maksud luhur. Oleh karena itu untuk mengatakan bahwa
perkawinan Rasul dengan banyak wanita sama denga poligami yang dilakukan oleh
kebanyakan orang sekarang atau disamakan dengan kebutuhan sex orang Barat
adalah sebagai sesuatu yang naïf. Hal ini dapat dikemukakan beberapa alasan,
selain dua alasan pokok di atas:
1. Andai kata semata-mata hanya dorongan
syahwat saja, mengapa Rasulullah SAW tidak memilih yang gadis-gadis saja?
Padahal Rasulullah pernah menganjurkan sahabat Jabir bin Abdullah untuk lebih
baik mengawini gadis dari pada janda karena seorang gadis lebih bisa
bermesraan dan bercanda.
2. Seandainya Rasul mau gadis, bukankah beliau bisa saja
meminta kepada sahabat-sahabatnya untuk memberikam anak gadisnya kepada
Rasulullah SAW ? Bukankah kesetiaan sahabat begitu besar kepada Rasulullah
SAW dan siap memberikan apa saja yang diminta ?.
Oleh karena itu,
tentu di balik poligami Rasul ada hikmah yang Allah kehendaki. Di antara
hikmah-hikmah tersebut adalah:
1. Hikmah Pendidikan
Dengan poligami, Rasulullah SAW banyak
mengeluarkan wanita yang alim yang dapat mengajarkan wanita lainnya.
Isteri-isteri Rasulullah SAW itulah yang mengajarkan agama kepada wanita
muslimah, khususnya tentang masalah-masalah yang bersifat feminisme
(kewanitaan). Karena sering sekali Rasulullah SAW malu dalam menjawab persoalan
itu, apalagi bila masalah yang ditanyakan amat “sensitive”
Aisyah ra meriwayatkan bahwa wanita Anshor datang kepada Rasulullah SAW bertanya tentang
cara membersihkan haid. Lalu Rasulullah SAW mengajarkannya. Beliau berkata:
“Ambillah kapas yang ada wewangiannya, lalu bersihkanlah dengannya”. Wanita
itu berkata: “Bagaimana membersihkannya?”. Rasul menjawab: “Bersihkanlah
dengannya”. Ia bertanya lagi: “Bagaimana membersihkannya ?”. Rasul
menjawab: “Subhanallah ! bersihkan saja dengannya”. Mendengar hal ini,
Aisyah ra langsung menarik tangan wanita tersebut lalu berkata: “Letakkanlah
kapas tadi di tempat ini dan itu, lalu hilangkan bekas darahnya”. Aisyah ra
berkata: “Aku jelaskan tempat yang mesti diletakkan
kapas”.
2. Hikmah Tasyri”
(perundang-undangan)
Hikmah ini dapat kita saksikan ketika
terjadi perkawinan Rasulullah SAW dengan Z
ainab binti Jahsy Al-Asadi, yaitu terhapusnya kebiasaan
menganggap anak angkat (adopsi) seperti anak nasab, yaitu menyamakan hukumnya
dalam hal waris, perkawinan dan lain sebagainya.
Pada saat itu, bangsa Arab selalu menyebut anak angkat Rasulullah SAW yang bernama Zaid bin
Haristah dengan sebutan Zaid bin Muhammad. Hal ini dimaklumi, karena kebiasaan
itu sudah mengakar di tengah-tengah masyarakat Jahiliyyah. Oleh karena itu demi
menghapus kebiasaan ini, Rasulullah SAW mengawini Zainab yang sebelumnya telah
dikawini oleh Zaid bin Haristah. Sebagai manusia, Rasulullah SAW takut bila orang munafik dan orang
yang benci akan berkata: “Lihat tuh, Muhammad telah kawin dengan isteri
anaknya”. Tapi kekhawatiran itu sirna setelah turun firman Allah
SWT:
وتخشى الناس والله أحق أن تخشاه
فلما قضى زيد منها وطرا زوجناكها لكيلا يكون
على المؤمنين حرج فى أزواج أدعيائهم اذا قضوا
منهن وطرا وكان أمر الله
مفعولا
“Dan kamu (Muhammad) takut kepada manusia, sedang
Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala
Z
aid telah
mengakhiri keperluan terhadap isterinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu
dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mu’min untuk (mengawini)
isteri-isteri anak-anak angkat mereka apabila anak-anak angkat itu telah
menyelesaikan keperluannya dari pada isteri-isterinya, dan adalah ketetapan
Allah itu pasti terjadi” (Al Ahzab; 37)
3. Hikmah Secara Sosial
Hikmah ini terlihat pada perkawinan beliau
dengan puteri Abu Bakar; Aisyah ra dan puteri Umar; Hafsah. Perkawinan
Rasulullah SAW ini sebagai penghargaan yang sangat besar yang pernah dirasakan
kedua sahabat beliau. Dan Rasulullah SAW pun layak memberikan penghargaan yang
besar ini. Sebab perjuangan dan jerih payah yang pernah dirasakan kedua
sahabat terhadap Islam begitu besar. Maka suatu penghargaan besar bila
Rasulullah SAW mengawini puteri-puteri mereka. Sehingga kecintaan Rasulullah
SAW dan mereka begitu kuat.
4. Hikmah Secara Politis
Perkawinan Rasulullah SAW dengan beberapa wanita
mengakibatkan bersatunya pengikut kabilah-kabilah yang berbeda, karena
sebagaimana kita ketahui bahwa apabila seseorang berkeluarga dengan anggota
suku lain, maka ia akan menjadi bagian dari suku itu, begitu pula sebaliknya.
Hikmah perkawinan Rasulullah SAW secara politis itu dapat kita lihat ketika
Rasulullah SAW mengawini beberapa wanita dari suku yang berbeda, antara
lain:
A. Juwairiyah bin Al Harits
Ia adalah putri dari perempuan Bani
Musthaliq. Ketika terjadi peperangan, ia dan kawannya menjadi tawanan kaum
muslimin. Ketika dihadapkan kepada Rasulullah SAW, beliau menawarkan kepadanya
apakah ia ingin bebas dengan membayar tebusan yang akan dibayarkan Rasulullah
SAW dan menikahinya. Juwairiyah pun menerima tawaran tersebut. Setelah
Rasulullah menikahinya, kaum muslimin pun merasa sungkan bila masih menawan
tahanan dari kaum anak pemimpin Bani Musthaliq yang kini menjadi isteri
Rasulullah SAW itu. Mereka berkata: “Pantaskah kita menawan para besan
Rasulullah SAW?”. Akhirnya para tawaran dari Bani Musthaliq pun dibebaskan.
Dan akibat dari kemurahan kaum muslimin ini mereka (Bani Musthaliq)
berbondong-bondong masuk Islam.
B. Sofiyah binti Huyyay bin Akhtab
Ia adalah termasuk pembesar dari Bani Quraidhoh. Suaminya telah
tewas dalam peperangan Khaibar. Ketika ia menjadi tawanan, salah seorang
pasukan muslim mengajukan usul bahwa sebaiknya wanita ini diserahkan kepada
Rasululah SAW. Ketika sampai dihadapan Nabi, beliau menawarkan dua hal; apakah
dibebaskan dan menjadi isteri Rasulullah SAW atau dibebaskan hingga bertemu
keluarganya?. Atas dua pilihan ini, Sofiyah memilih yang pertama karena ia
melihat kewibawaan Nabi. Ia pun masuk Islam yang kemudian diikuti oleh
kaumnya.
C. Romlah binti Abu Sufyan
Ia adalah puteri Abu Sufyan, salah
seorang tokoh Quraisy di Makkah yang sangat memusuhi Nabi dan kaum muslimin.
Puterinya telah masuk Islam ketika masih di Makkah dan pernah hijrah dengan
suaminya ke Habasyah. Suaminya meninggal dunia di Habasyah, maka tinggallah ia
sendiri tanpa ayah dan suami. Ketika Rasulullah SAW mengetahui hal itu, beliau
mengirim surat kepada raja Najasyi untuk disampaikan kepada Romlah bahwa Nabi
ingin menikahinya. Mendengar berita ini, Romlah sangat gembira karena tidak
mungkin baginya untuk kembali kepada ayahnya.
Ketika berita ini sampai kepada Abu Sufyan, ia pun seperti menyetujuinya, lalu membanggakan
Nabi yang telah menjadi suami puterinya. Keadaan ini membuat sikap Abu Sufyan
dan kaum Quraisy berubah menjadi lembut terhadap kaum muslimin yang masih
berada di Makkah yang sebelumnya sangat mengganggu.
Penutup
Dari uraian di atas, jelas bagi kita
bahwa betapa sempurnanya ajaran Islam. Keberadaan aturan poligami masih tetap
relevan hingga kini, terlebih di tengah-tengah zaman globalisasi seperti
sekarang ini, di mana menurut catatan sensus menyebutkan bahwa jumlah kaum
wanita lebih banyak dari kaum pria. Lalu akan dikemanakankah sisa kaum wanita
bila lelaki hanya dibatasi kawin hanya dengan satu orang wanita?. Banyak sudah
akibat yang ditimbulkan dari larangan poligami, baik secara resmi ataupun tidak
resmi. Merajalelanya perzinahan, tempat-tempat maksiat dan lainnya, anak-anak
yang tidak tahu kepada siapa harus menyebut ayah adalah salah satu akibat
laranga poligami. Telah bertahun-tahun lamanya penyakit sosial ini timbul,
bahkan dari tahun ke tahun selalu menampakkan peningkatan saja. Lalu kemanakah
para pakar psikologi, sosial, kriminil, alat negara dan lain sebagainya dapat
memecahkan masalah ini?. Hanya satu jalan keluar dari kemelut ini, yaitu
kembali kepada Islam.
Di sisi lain, kita juga tidak mentolelir
sikap para poligamis yang berbuat seenaknya terhadap isteri-isterinya, bersikap
tidak adil dan mengenyampingkan tanggung jawab isteri dan anak-anaknya. Mereka
merasa bahwa dengan kekayaannya dapat berbuat seenak-enaknya. Kita juga
menyesalkan beberapa sikap wanita muslimah yang mata duitan dan rela dimadu
hanya karena calon suami kaya. Gejala-gejala ini patut kita waspadai dengan
mendidik dan mempersiapkan kaum pria dan wanita yang dapat mengerti dienul
Islam dan mengerti akan hak dan tanggung jawab masing-masing. Wallahu
a’lam.
Makkah Al Mukarramah, Jum’at 1 Sya’ban 1419 H/22 Nopember
1998
Bahan Rujukan:
1. Al Qur’an Al Karim, Departemen Agama
2. Al-Mar’atu bayna al-Fiqh wal
Qonun, Dr, Musthofa Siba’i
3. Syubuhat Haula al-Islam, Muhammad Qutub
4. Rowa’i al-Bayan, Muhammad Ali
As Shobuni
5.
Syubuhat haula ta’ddud zaujatur Rasul SAW, Muhammad Ali
As-Shobuni
6.
Islam Dalam Berbagai Dimensi, DR. Daud
Rasyid